JAKARTA
- Kementerian Agama (Kemenag) mengkaji delapan opsi sebagai upaya
penyelesaian permasalahan di Kantor Urusan Agama (KUA) terkait praktik “korupsi”
dalam pencatatan pernikahan. Butuh optimalisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena lingkup kerjanya sangat luas sementara anggaran ditetapkan
saat ini sangat minim.
Inspektur
Jenderal Kemenag, Mochammad Jasin, mengatakan mengurus pernikahan oleh KUA
sebenarnya hanya salah satu lingkup kerja saja. Tugas KUA relatif banyak
mencakup urusan wakaf, zakat, penyelenggaraan
ibadah haji termasuk memberikan manasik, dan membina kerukunan umat beragama.
"Jadi sebenarnya ujung tombak juga di Kemenag," ujarnya di kantor
Irjen Kemenag, Jakarta, kemarin.
Namun
anggaran operasional KUA sangat minim. Dalam sebulan hanya dipatok memiliki
anggaran rata-rata sebesar Rp 2 juta. Minimnya anggaran ini menjadi salah satu
faktor suburnya praktik gratifikasi dan pungutan liar terutama dalam peristiwa
nikah.
Maka, kata
Jasin, pihaknya saat ini sedang menggodok delapan opsi untuk dipilih salah
satunya sebagai solusi. Pertama,
menggratiskan biaya pernikahan serta semua pencatatan nikah dilakukan di KUA
dan di hari kerja. Opsi kedua,
menaikkan biaya pencatatan nikah dan pencatatan nikah tetap dilaksanakan di KUA
pada hari dan jam kerja.
Opsi ketiga, membebaskan biaya pencatatan
pernikahan dan memberikan uang transport lokal kepada para penghulu sesuai
Standar Biaya Masukan (SBM) yang berasal dari APBN sebesar Rp 110 ribu atau ada
biaya tambahan kepada penghulu jika dilaksanakan di luar KUA. "Terlebih
jika jaraknya jauh, misalnya sampai harus naik kapal boat bolak-balik dan
mahal," terusnya.
Keempat, menaikkan biaya pencatatan
pernikahan dan memberikan uang transport lokal kepada penghulu Rp 110 ribu
untuk setiap pencatatan pernikahan di luar kantor. Kelima, membebaskan biaya pencatatan nikah dan memberikan uang
transport lokal, honorarium untuk penghulu yang menjadi wali nikah dan
memberikan khutbah nikah dan dibebankan kepada APBN.
Keenam, menaikkan biaya pencatatan
pernikahan dan memberikan uang transport lokal dan uang lembur sesuai SBM
kepada para penghulu yang bertugas tidak hanya sebagai pencatat nikah. Ketujuh, tarif biaya nikah tidak dinaikkan
atau tetap Rp 30 ribu dan bagi penghulu yang bertugas di luar kantor diberikan
uang transport lokal dan jasa profesi sesuai dengan Standar Biaya Keluaran
(SBK) apabila memberikan khutbah dan menjadi wali.
Opsi
terakhir, membebaskan tarif pencatatan nikah dan bagi penghulu yang bertugas di
luar kantor diberikan biaya transport lokal Rp 110 ribu atau ada tambahan lain.
Bagi penghulu yang khutbah nikah atau jadi wali diberikan biaya profesi Rp 390
ribu. "Untuk opsi kedelapan ini harus mengubah PP nomor 47 tahun 2004
tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sebab Rp 30 ribu itu kan masuk ke
kas negara, lah kalau dihapus ya itu di PP-nya harus dihilangkan,"
jelasnya.
KUA sendiri
bukan merupakan Satuan Kerja (Satker) di Kemenag. Namun mengangkatnya menjadi
Satker untuk saat ini, kata Jasin, tidak memungkinkan karena sedang
melaksanakan reformasi birokrasi. "Satker itu kan harus
dirampingkan," terusnya.
Menteri
Agama, Suryadharma Ali, mengatakan opsi untuk memformalkan pernikahan seperti
dalam opsi pertama hampir pasti tidak bisa terwujud. Infrastruktur KUA dinilai
belum memadai. Rata-rata gedung kantor lembaga ini kecil dan tidak sedikit
masih menyewa. "Bayangkan kalau mempelai pria bawa keluarga 50 orang. Begitu
juga perempuannya. Masuk semua ke kantor KUA. Terus kalau dalam sehari ada 5
pasangan mau menikah, ya tidak akan muat," ujarnya saat peresmian kantor
Kemenag Nusa Tenggara Barat, Sabtu (26/01).
Lagipula,
menurutnya, menikahkan ini bukan semata administrasi tetapi ada faktor ritual
keagamaan, budaya, dan klenik. "Maka saya katakan solusi ini tidak
tepat," akunya.
Maka sebagai
solusi sementara pejabat KUA dilarang mematok harga. "Yang paling salah
adalah mematok harga. Jangan sampai begitu," imbuhnya.
0 komentar:
Posting Komentar