Tampilkan postingan dengan label Media Online. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Media Online. Tampilkan semua postingan

Rabu, 18 Desember 2013

KPK: Penghulu Terima Amplop karena Anggaran Operasional KUA Minim



JAKARTA, KOMPAS.com — Terbatasnya anggaran operasional di Kantor Urusan Agama (KUA) menjadi salah satu masalah yang mengakibatkan maraknya penghulu menerima gratifikasi atau pemberian uang di luar ongkos resmi pencatatan nikah. Hal ini merupakan salah satu kesimpulan diskusi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi bersama dengan Kementerian Agama, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat.

“Kondisi penerimaan gratifikasi penghulu disebabkan keterbatasan anggaran di KUA,” kata Direktur Gratifikasi KPK Giri Suprapdiono dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Rabu (18/12/2013).

Hadir dalam jumpa pers tersebut Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, Inspektur Jenderal Kementerian Agama M Jasin, Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Askolani, serta perwakilan Kemenkokesra.

Menurut Giri, biaya operasional KUA yang ada selama ini masih minim. Tiap-tiap KUA hanya mendapatkan biaya operasional sekitar Rp 2 juta per bulan.

”Masing-masing KUA Rp 2 juta per bulan, tahun depan naik jadi Rp 3 juta, untuk biaya rutin, honor penjaga kantor, petugas kebersihan, yang lebih kurang dibayar Rp 100.000 per bulan,” tutur Giri.

Selain itu, lanjutnya, hanya sedikit KUA yang memiliki kendaraan operasional untuk digunakan para penghulu mendatangi calon pengantin. Kalaupun ada kendaraan operasional, kata Giri, jarang dibarengi dengan biaya pemeliharaan.

“Tidak ada sarana atau prasarana bagi penghulu untuk mendatangi calon pengantin. Ini menjadi alasan pembenaran penerimaan gratifikasi walaupun atas dasar kerelaan,” ujarnya.

Untuk mengatasi masalah tersebut, KPK bersama dengan kementerian terkait mencoba membangun sistem yang diharapkan mampu menciptakan pelayanan nikah yang lebih bersih. Hasil diskusi KPK dengan sejumlah kementerian tersebut disepakati sejumlah solusi. Adapun solusi yang pertama adalah dengan membebankan pada APBN biaya operasional penghulu yang menikahkan di luar KUA atau di luar jam kerja.

“Biaya operasional di luar kantor atau di luar jam kerja dibebankan pada APBN, tidak boleh lagi menerima dari pihak yang bukan resmi,” ujar Giri.

Solusi kedua, lanjut Giri, dengan mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 yang mengatur tentang biaya administrasi pencatatan nikah dan cerai. Namun, Giri tidak menjelaskan bagian mana dari PP yang perlu diubah.

“Paling lambat akhir Januari 2014,” ucapnya.

Dia menambahkan, sambil menunggu terbitnya PP yang baru, Kemenag akan mengeluarkan edaran catatan sesuai dengan peraturan yang berlaku.


Kompas.com
Rabu, 18 Desember 2013 | 13:32 WIB

Kamis, 31 Januari 2013

8 Opsi Tuntaskan Gratifikasi dan Pungli di KUA


JAKARTA -  Kementerian Agama (Kemenag) mengkaji delapan opsi sebagai upaya penyelesaian permasalahan di Kantor Urusan Agama (KUA) terkait praktik “korupsi” dalam pencatatan pernikahan. Butuh optimalisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena lingkup kerjanya sangat luas sementara anggaran ditetapkan saat ini sangat minim.
Inspektur Jenderal Kemenag, Mochammad Jasin, mengatakan mengurus pernikahan oleh KUA sebenarnya hanya salah satu lingkup kerja saja. Tugas KUA relatif banyak mencakup urusan wakaf, zakat,  penyelenggaraan ibadah haji termasuk memberikan manasik, dan membina kerukunan umat beragama. "Jadi sebenarnya ujung tombak juga di Kemenag," ujarnya di kantor Irjen Kemenag, Jakarta, kemarin.
Namun anggaran operasional KUA sangat minim. Dalam sebulan hanya dipatok memiliki anggaran rata-rata sebesar Rp 2 juta. Minimnya anggaran ini menjadi salah satu faktor suburnya praktik gratifikasi dan pungutan liar terutama dalam peristiwa nikah.
Maka, kata Jasin, pihaknya saat ini sedang menggodok delapan opsi untuk dipilih salah satunya sebagai solusi. Pertama, menggratiskan biaya pernikahan serta semua pencatatan nikah dilakukan di KUA dan di hari kerja. Opsi kedua, menaikkan biaya pencatatan nikah dan pencatatan nikah tetap dilaksanakan di KUA pada hari dan jam kerja.
Opsi ketiga, membebaskan biaya pencatatan pernikahan dan memberikan uang transport lokal kepada para penghulu sesuai Standar Biaya Masukan (SBM) yang berasal dari APBN sebesar Rp 110 ribu atau ada biaya tambahan kepada penghulu jika dilaksanakan di luar KUA. "Terlebih jika jaraknya jauh, misalnya sampai harus naik kapal boat bolak-balik dan mahal," terusnya.
Keempat, menaikkan biaya pencatatan pernikahan dan memberikan uang transport lokal kepada penghulu Rp 110 ribu untuk setiap pencatatan pernikahan di luar kantor. Kelima, membebaskan biaya pencatatan nikah dan memberikan uang transport lokal, honorarium untuk penghulu yang menjadi wali nikah dan memberikan khutbah nikah dan dibebankan kepada APBN.
Keenam, menaikkan biaya pencatatan pernikahan dan memberikan uang transport lokal dan uang lembur sesuai SBM kepada para penghulu yang bertugas tidak hanya sebagai pencatat nikah. Ketujuh, tarif biaya nikah tidak dinaikkan atau tetap Rp 30 ribu dan bagi penghulu yang bertugas di luar kantor diberikan uang transport lokal dan jasa profesi sesuai dengan Standar Biaya Keluaran (SBK) apabila memberikan khutbah dan menjadi wali.
Opsi terakhir, membebaskan tarif pencatatan nikah dan bagi penghulu yang bertugas di luar kantor diberikan biaya transport lokal Rp 110 ribu atau ada tambahan lain. Bagi penghulu yang khutbah nikah atau jadi wali diberikan biaya profesi Rp 390 ribu. "Untuk opsi kedelapan ini harus mengubah PP nomor 47 tahun 2004 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sebab Rp 30 ribu itu kan masuk ke kas negara, lah kalau dihapus ya itu di PP-nya harus dihilangkan," jelasnya.
KUA sendiri bukan merupakan Satuan Kerja (Satker) di Kemenag. Namun mengangkatnya menjadi Satker untuk saat ini, kata Jasin, tidak memungkinkan karena sedang melaksanakan reformasi birokrasi. "Satker itu kan harus dirampingkan," terusnya.
Menteri Agama, Suryadharma Ali, mengatakan opsi untuk memformalkan pernikahan seperti dalam opsi pertama hampir pasti tidak bisa terwujud. Infrastruktur KUA dinilai belum memadai. Rata-rata gedung kantor lembaga ini kecil dan tidak sedikit masih menyewa. "Bayangkan kalau mempelai pria bawa keluarga 50 orang. Begitu juga perempuannya. Masuk semua ke kantor KUA. Terus kalau dalam sehari ada 5 pasangan mau menikah, ya tidak akan muat," ujarnya saat peresmian kantor Kemenag Nusa Tenggara Barat, Sabtu (26/01).
Lagipula, menurutnya, menikahkan ini bukan semata administrasi tetapi ada faktor ritual keagamaan, budaya, dan klenik. "Maka saya katakan solusi ini tidak tepat," akunya.
Maka sebagai solusi sementara pejabat KUA dilarang mematok harga. "Yang paling salah adalah mematok harga. Jangan sampai begitu," imbuhnya.

Musim Haji 1434 H Disiapkan Kloter Lansia


Jakarta (Pinmas)—Kementerian Agama tengah menyiapkan kloter khusus bagi jamaah usia lanjut (lansia) yang akan berangkat menunaikan ibadah haji pada tahun 1434 H/ 2013. Kloter untuk lansia ini akan mendapatkan fasilitas khusus dalam pelayanan kesehatan karena mereka termasuk jamaah beresiko tinggi (risti).
Demikian dikemukakan Dirjen Penyelenggara Haji dan Umrah Kementerian Agama Anggito Abimanyu di Jakarta, Rabu (30/1). “Masa tinggal di Arab Saudi durasinya lebih pendek antara 20-25 hari, serta pemondokan lokasinya dekat Masjidil Haram” kata Anggito dalam jumpa pers didampingi Sekretaris Ditjen PHU Cepi Supriatna, Direktur Pembinaan Haji Ahmad Kartono, Direktur Pelayanan Haji Sri Ilham Lubis dan Kapus Informasi dan Humas Kemenag Zubaidi.
“Selain itu juga mereka akan mendapatkan bimbingan haji yang khusus, karena usia mereka nanti 83 tahun ke atas, yang merupakan usia risiko tinggi dan berbagai keterbatasan,” kata Anggito Abimanyu.
Menurut dia, demi meningkatkan pelayanan, dan keamanan bagi jamaah, maka pihaknya juga akan menambah petugas kesehatan dan petugas keamanan di Arab Saudi. Berbagai langkah ini, menurut dia, jelas menimbulkan konsekuensi penambahan biaya.
“Namun kami upayakan bahwa tambahan biaya penyelenggaraan itu, tidak akan menambah BPIH yang dibayarkan calon haji kita. Maka akan kita usulkan dana optimalisasi setoran awal, yang tahun lalu mensubsidi Rp 9 juta per orang, maka akan kita upayakan bisa mencapai Rp 12 juta per orang pada 2013,” papar mantan Direktur Kebijakan Fiskal Kementrian Keuangan ini.
Mengenai BPIH (biaya penyelenggaraan ibadah haji) tahun 2013, Anggito mengatakan, pemerintah baru memulai membahas dengan DPR RI. Diharapkan BPIH tahun ini tidak mengalami kenaikan dan dapat ditetapkan bulan April mendatang, dengan demikian lebih cepat dibanding tahun sebelumnya yang penetapannya jatuh pada bulan Agustus.

Sumber: Kemenag.go.id

Selasa, 22 Januari 2013

Moratorium Pembayaran Setoran Awal Pendaftaran Haji : Kemenag Anggap KPK Ngawur

JAKARTA-Hubungan Kementerian Agama (Kemenag) dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali panas. Kali ini Kemenag menjadi pemantiknya. Kementerian berslogan Ikhlas Beramal itu menganggap KPK ngawur karena dinilai asal mengusulkan moratorium pembayaran setoran awal pendaftaran haji.

Kemenag menganggap usulan KPK tersebut ngawur karena tidak ada landasannya. Direktur Jenderal Penyelenggaran Haji dan Umrah (Dirjen PHU) Kemenag Anggito Abimanyu mengatakan, seolah-olah usulan moratorium yang dilontarkan KPK itu termasuk dalam rekomendasi perbaikan pengelolaan dana haji. ’’Padahal sama sekali tidak ada dalam rekomendasi KPK yang soal moratorium itu,’’ katanya di Jakarta, Jumat (11/1).

Anggito menegaskan karena usulan tersebut tidak ada dalam rekomendasi KPK, Kemenag jadi kesulitan dalam menjalankannya. Dia mengatakan jika usulan itu bersifat wacana dan dilontarkan tanpa ada kajian. Dia mengakui jika usulan-usulan perbaikan KPK lainnya yang masuk draf rekomendasi, dikeluarkan oleh kajian tim litbang KPK.

’’Kalau yang ini (moratorium setoran dana haji, red) saya rasa tidak ada kajiannya,’’ jelas Anggito.

Pihak Kemenag sadar jika wacana moratorium dana haji ini muncul karena saat ini sedang booming istilah moratorium. Mulai moratorium penerimaan CPNS baru hingga moratorium pengiriman TKI ke sejumlah daerah.

Anggito mengakui mereka tidak ingin berpolemik terhadap usulan KPK yang tidak ada dasarnya itu. Dia mengatakan Kemenag menunggu iktikad baik dari KPK untuk menjelaskan lebih rinci terkait usulan moratorium tadi. Yakni mulai dasar kajiannya, latar belakangnya, hingga apa itu moratorium setoran dana haji dan bagaimana penerapannya.

’’Kami ingin dengar langsung paparan dari pimpinan KPK atau yang mewakili,’’ tandas Anggito.

Jangan sampai KPK terus mengumbar wacana ini kepada publik tanpa memberikan penjelasan. Selintas Anggito menganggap jika usulan KPK itu adalah moratorium setoran awal haji karena besarnya dana akumulasinya. ’’Ini masih anggapan atau asumsi kami. Karena mereka belum menjelaskan ke kita,’’ ujarnya.

Anggito menegaskan jika sampai saat ini Kemenag belum memiliki gagasan mengenai moratorium setoran awal dana pendaftaran haji. Sebab harus ada kajian menyeluruh dari aspek hukum, sosial, ekonomi, dan administrasi. Di antaranya syarat berhaji yakni istito’ah atau kemampuan. Dikhawatirkan banyak umat muslim yang tidak mampu tetapi bisa mendaftar haji karena tidak ada uang muka atau setoran awal.

Selain aspek syariah tersebut, Anggito juga mengatakan pendaftaran haji hingga calon jamaah mendapatkan kursi keberangkatan perlu uang muka. ’’Oke kalau kita diminta terus memperbaiki pengelolaannya. Kalau uang muka itu distop, masih perlu kajian mendalam,’’ kata dia.

Selanjutnya Anggito juga mengkritisi sikap KPK yang terus menganggap Kemenag lamban atau bebal dalam menindaklanjuti rekomendasi mereka. Anggito mengatakan, setidaknya KPK menganggap Kemenag belum menuntaskan rekomendasi tujuh item.

’’Memang benar belum seluruh rekomendasi itu closed (tuntas ditindaklanjuti, red). Tetapi yang sudah closed mencapai 75 persen,’’ papar Anggito. Tanggungan Kemenag saat ini tinggal pembentukan komisi pengawas haji independen (KPHI), pembentukan teknik urusan haji (TUH) di Jeddah, serta pengelolaan aset haji dan dana abadi umat (DAU).

Anggito mengatakan kecewa karena KPK menganggap Kemenag sama sekali belum menindaklanjuti rekomendasi mereka. Padahal secara bertahap Kemenag sudah melaporkan tindak lanjut rekomendasi itu ke KPK pada 8 dan 17 September serta 13 Desember tahun lalu.

Pihak Kemenag kaget karena menjelang pergantian tahun KPK mengeluarkan surat jika Kemenag diminta segera menindaklanjuti rekomendasi KPK. ’’Perbaikan komunikasi birokrasi internal di KPK perlu dijalankan,’’ katanya. (wan)
 
Sumber: http://m.jpnn.com/news.php?id=154076

Rabu, 19 Januari 2011

Ceramah

Sabtu, 18 September 2010

Menag Minta Putusan MK Pertahankan UU Anti Pornografi

Jakarta(Pinmas)--Mahkamah Konstitusi akan membacakan putusan gugatan ujji materi UU Anti Pornografi dan Pornoaksi siang ini pukul 14.00. Menyikapi rencana putusan itu, Menteri Agama Surya Dharma Ali meminta putusan MK mempertahankan keberadaan UU tersebut karena penting sebagai alat pelindung masyarakat dari bahaya pornografi. "Saya harap MK memutuskan dalam bentuk perkuatan pasal-pasal yang ada di UU Pornografi. Tidak perlu ada pencabutan, tidak perlu ada perombakan," katanya, Kamis, (25/3).
Surya menilai UU APP menjadi produk hukum yang cukup baik dan tegas untuk melindungi karakter bangsa. Hal itu sehingga seluruh masyarakat bisa terlindungi dari serangan budaya negatif pornografi yang bisa mengkikis karakter bangsa. "UU ini sudah cukup baik untuk melindungi karakter bangsa. Sekarang ini karakter bangsa itu menjadi sorotan," katanya.
Surya menyebutkan, bila tidak ada UU APP, maka negara tidak memiliki fondasi payung hukum untuk melindungi masyarakat. Hal itu berarti upaya untuk menyaring masyarakat dari serangan pengaruh negatif berupa pornografi sulit dilakukan. "Karenanya, saya kira perlu ada undang-undang yang tegas yang dapat memfilter masyarakat dari berbagai pengaruh negatif," katanya.
Surya juga menyesalkan, adanya sikap sebagian pihak menjadikan alasan hak kebebasan memperoleh informasi untuk menggagalkan upaya perlindungan negara atas masyarakat dari serangan negatif pornografi. Bila dibiarkan, masyarakat akan mendapatkan pengaruh negatif. "Saya kira tidak cocok pandangan seperti itu. Kita harus ada aturan yang memfilter masyarakat dari banjirnya pengaruh negatif dari berbagai tempat," katanya.(rep/aru/ts). Sumber : www.depag.go.id)

Selasa, 03 Februari 2009

Ketika Menikah Didasari "Kepalsuan"

Liputan6.com, Semarang: Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Semarang, Jawa Tengah, Senin (31/1) pekan silam, Budiyono divonis majelis hakim dengan hukuman empat bulan kurungan. Pasalnya, pria ini dinilai terbukti membuat akta nikah palsu. Pada persidangan itu juga meluncur pengakuan dari Budiyono, bahwa dia telah membuat surat nikah yang asli tapi palsu itu sebanyak tiga kali.

Yang membuat majelis hakim yang diketuai Fathurahman ini geleng-geleng kepala, adalah keterangan Budiyono yang mengatakan bahwa hanya diperlukan waktu 10 hari baginya membuat sepasang wanita berlainan jenis menjadi suami istri yang sah di atas kertas. Untuk semua itu, dia tak memerlukan syarat apa pun, pengguna jasanya cukup menunggu akta selesai tanpa harus menyerahkan kartu tanda penduduk atau kartu keluarga.
Sementara pada saat hampir bersamaan, di PN Semarang juga berlangsung persidangan yang menghadirkan Sie Monica Silvia Pramana sebagai terdakwa. Rupanya, Monica adalah pengguna jasa dari si pembuat akta nikah palsu. Berdasarkan keterangan yang dipaparkan di depan persidangan, motif Monica membuat akta nikah palsu adalah untuk menguasai harta warisan pria yang diakuinya sebagai suami.
Dari kedua persidangan tersebut bisa disimpulkan, kasus pemalsuan akta nikah bukanlah hal yang baru di Kota Semarang khususnya dan Jateng pada umumnya. Bahkan, dari data yang dihimpun tim Sigi SCTV, ternyata dalam setahun belakangan lebih dari 350 buku nikah raib di berbagai Kantor Urusan Agama (KUA) di Jateng. Di luar itu, ratusan dan bahkan ribuan blangko surat nikah palsu ikut meramaikan bisnis haram ini di wilayah Semarang dan sekitarnya. 
Beredarnya surat nikah palsu ini dibenarkan seorang pegawai KUA di Jateng, saat tim Sigi memperlihatkan bukti sebuah surat nikah yang diduga palsu. Hal itu kemudian dikuatkan pegawai Kantor Wilayah Departeman Agama Jateng. Bahkan, ciri-ciri surat nikah yang asli pun diperlihatkan kepada tim Sigi. Mulai dari nomor seri surat nikah hingga hologram model baru yang terlihat berbeda dengan surat nikah palsu yang rata-rata nomor seri maupun cetakannya lebih kasar.
Kendati demikian, Kepala Kanwil Depag Jateng, Mashudi, membantah jika di wilayahnya marak beredar surat nikah palsu. Menurut dia, laporan yang masuk sejak tahun 2004 hingga 2005, tidak ada terjadi pencurian surat nikah di wilayah Jateng. "Kalau sebelum tahun 2004 memang ada laporan terjadinya pencurian buku nikah," jelas dia.
Terlepas dari kebenaran laporan itu, yang jelas fakta di lapangan tak bisa dibantah. Apakah buku nikah itu hasil buatan pemalsu atau didapat dari berbagai KUA di Jateng, praktik ini ternyata telah berlangsung lama. Bisnis ini menjadi subur karena peminatnya beragam. Mulai dari pasangan yang telah menikah siri, istri simpanan, mereka yang ingin mengeruk harta warisan hingga pasangan yang tak ingin status perkawinannya diketahui publik.
Untuk membuktikan kebenaran informasi tersebut, tim Sigi pun berusaha menelusuri praktik ini dengan menyamar sebagai sepasang pengantin yang sudah menikah di bawah tangan serta membutuhkan bukti nikah. Namun, dari sebuah kawasan di Semarang, pria yang didatangi menolak melayani dengan alasan hanya mau membantu pengurusan surat nikah yang resmi.
Gagal di tempat ini, tim Sigi lantas beranjak ke tempat lainnya di selatan Kota Semarang. Kebalikan dari sebelumnya, di rumah salah seorang warga, sebut saja namanya Sugondo, obrolan berjalan lancar. Saat diutarakan keinginan untuk mendapatkan akta nikah, Sugondo menyanggupi, bahkan tanpa proses yang berbelit-belit, tak perlu menyerahkan KTP atau surat-surat lainnya.
Tidak mengetahui kalau pertemuan itu direkam dengan sebuah kamera tersembunyi, Sugondo dengan lancar menyebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Tak banyak syarat yang diminta, cukup foto kedua calon serta selembar kertas yang berisi data-data pasangan. Selanjutnya, urusan berada di tangan Sugondo, yang penting setiap pasangan harus membayar Rp 1,5 juta.
Tak hanya itu, soal pencatatan tanggal pernikahan juga bisa dipesan sesuai keinginan. Bagi Sugondo, yang penting harganya cocok. "Kalau mau pakai penghulu juga boleh, tapi tambah lagi seratus ribu rupiah," jelas dia. Setelah semuanya disepakati, Sugondo meminta untuk datang tiga hari kemudian, sesuai waktu yang dia butuhkan untuk membuat akta nikah lewat jalan belakang.
Sebagaimana dijanjikan, tiga hari setelah pertemuan sebelumnya tim Sigi kembali datang ke rumah Sugondo dengan berdandan seperti sepasang pengantin. Sugondo ternyata tidak bohong, surat nikah itu sudah siap dan penghulu pun telah hadir. Pasangan yang menyamar ini pun lantas diminta menandatangani buku nikah layaknya acara pernikahan pada umumnya.
Namun, setelah akta nikah yang diserahkan diperhatikan dengan saksama, terlihat cap KUA Mranggen, Demak, pada buku nikah tersebut, padahal pengurusan dilakukan di kediaman Sugondo di Semarang. Untuk membuktikan status buku nikah yang telah didapatkan, tim Sigi berangkat ke Mranggen. Dari petugas di KUA Mranggen yang memeriksanya, didapat kepastian kalau buku nikah itu palsu.
Salah seorang petugas KUA Mranggen, Ahmad Tamkin, lalu membandingkan buku nikah yang dibawa dengan surat nikah asli yang dikeluarkan kantor ini. Selain kode dan seri surat yang salah, nama pejabat pencatat akta nikah pun ternyata pejabat KUA Mranggen pada era 80-an.
Agaknya, bagi mereka yang membutuhkan bukti tentang telah terjadinya sebuah pernikahan, buku nikah itu asli atau palsu tak menjadi persoalan besar. Yang jelas, mereka punya pegangan tentang status pernikahan, terlepas itu didapat melalui jalur belakang. Hal itu pula yang melandasi seorang istri simpanan seorang pejabat ternama di Jateng, sebut saja namanya Donna, mendapatkan akta nikah tanpa jalur resmi.
Menurut pengakuan wanita berusia 23 tahun ini kepada tim Sigi saat ditemui di sebuah hotel di Kota Semarang, setelah setahun memegang akta nikah palsu, Donna merasa tak ada masalah. Masih dari pengakuan Donna, surat nikah itu didapatkannya di sebuah kabupaten yang bertetangga dengan Kota Semarang.
Menurut Donna, buku nikah yang didapatkannya mirip dengan yang asli. Selain itu, proses yang dia jalani juga tak jauh berbeda dengan pernikahan pada umumnya, lengkap dengan ijab serta kehadiran saksi, meski semuanya dilakukan secara tertutup dan menghadirkan saksi dari luar yang dibayar.
Untuk mendapatkan buku nikah itu, Donna harus membayar Rp 1,3 juta guna mengurus segala keperluan. Tentunya, jumlah duit sebesar itu di luar ongkos jasa untuk pihak yang menjadi perantara. Dan Donna cukup memberikan KTP serta foto. Selanjutnya dia tinggal menunggu semuanya selesai. "Yang mengurus juga bukan saya, tapi ibu dari salah seorang sahabat," jelas wanita tersebut.
Selain menemukan fakta tentang mudahnya mengurus sebuah akta nikah melalui jalur tidak resmi, tim Sigi juga menemukan keterlibatan orang dalam untuk memuluskan praktik ini. Seorang penyedia jasa pembuatan akta nikah lainnya, menceritakan bahwa proses pembuatan sebenarnya tidak rumit. Hanya, tidak semua orang mengetahui karena jaringan mereka sangat rahasia.
Yang pasti katanya, proses itu harus melibatkan orang dalam, karena tidak mungkin mendapatkan blangko surat nikah asli tanpa peran orang-orang yang memiliki akses untuk itu. "Buku nikah kan tidak dijual di tempat-tempat umum," ujarnya memberi alasan. Karena semua berkasnya asli, secara kasat mata akan lebih sulit untuk mengetahui palsu atau tidaknya akta tersebut.
Di mata pengamat hukum yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Muhammad Dja'is, munculnya kasus ini dipicu banyak alasan. Mulai dari keinginan kawin lagi tanpa harus meminta izin istri pertama hingga menikah tanpa harus menunggu restu orang tua.
Di luar itu, dosen ini mengingatkan, surat nikah hanyalah catatan pernikahan yang secara prosedur dan hukum dicatat oleh negara. Sementara jika sebuah pernikahan telah terjadi sesuai ketentuan agama, maka perselisihan yang terjadi belakangan, misalnya soal kelengkapan administrasi, tidak lantas membuat pernikahan itu gugur karenanya.
Artinya, pernikahan itu baru dianggap ada ditentukan oleh prosesnya. Dan bukan karena sebuah buku kecil yang disimpan rapi di lemari. Karena itulah, kalau memang sebuah pernikahan telah menjadi kemauan berdua, kenapa harus mencederainya dengan sebuah "kepalsuan"?(ADO/Tim Sigi SCTV)

 
Design by Muhammad Zainudin | Penghulu KUA Kec. Mranggen