Sabtu, 20 Maret 2010

Tata Cara Wakaf di Indonesia


Pada tanggal 10 Juni 1991, Presiden Republik Indonesia; Soeharto telah mengeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia dengan Nomor 1 Tahun 1991 yang inti dari isi INPRES tersebut adalah menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terdiri dari tiga (3) buku, yaitu hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan.
Selanjutnya KHI ini dijadikan sebagai pedoman di dalam menetapkan perkara-perkara yang berhubungan dengan tiga masalah yang terkandung di dalam KHI tersebut yang dialami oleh orang Islam. Ini telah ditetapkan oleh Menteri Agama di dalam keputusannya tentang pelaksanaan INPRES Nomor 1 Tahun 1991 tersebut.
Oleh karena itu, KHI menjadi bagian penting di dalam kehidupan maysarakat muslim di Indonesia. Ia dapat diibaratkan sebagai kitab fiqh Indonesia
Sebagaimana yang telah diterangkan, KHI mengandung tiga (3) pembahasan. Salah satu yang paling banyak menimbulkan salah faham adalah masalah wakaf. 

Kajian KHI Pasal 223 Tentang Tata Cara Perwakafan dan Fiqh

Di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 223 menjalaskan tentang tata cara perwakafan. Pasal 223 angka (1) tertulis sebagai berikut:
"Pihak yang hendak mewakafkah dapat menyatakan ikrar wakaf di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan ikrar wakaf."
Pada dasarnya, ketika rukun-rukun wakaf telah tercukupi, maka jadilah wakaf. Ini adalah menurut fiqh klasik. Sedangkan rukun-rukun wakaf menurut mayoritas ulama selain Hanafi adalah orang yang mewakafkan (واقف), tujuan diwakafkan (موقوف عليه), barang wakafan (موقوف), dan sîghat.
Sedangkan menurut mazhab Hanafi, rukun wakaf itu hanya ada satu, yaitu shîghat. Shîghat di sini adalah lafaz-lafaz yang menunjukkan kepada makna wakaf. Seperti contoh kata seseorang “tanahku ini diwakafkan selamanya terhadap orang-orang miskin”.
Syaikh Wahbah al-Zuhailî di dalam kitab al-Fiqh al-`Islâmî wa `Adillatuh berkata:
المقرر شرعا أن الشهادة إحدى طرق إثبات الوقفية، ويشترط في ادعاء الوقف: بيان الوقف ولو كان قديما، ويقبل في إثباته الشهادة على الشهادة، وشهادة النساء مع الرجال، والشهادة بالشهرة والتسامع بأن يقول الشاهد: أشهد بالتسامع وتقبل شهادة التسامع لبيان المصرف، كقولهم على مسجد كذا، ولبيان مستحقين، ولا تقبل لإثبات شرائطه في الأصح. أما صك الكتابة فلا يصلح حجة؛ لأن الخط يشبه الخط. واشتراط تحديد العقار الموقوف لا يطلب لصحة الوقف لأن الشرط كونه معلوما وإنما هو شرط لقبول الشهادة الوقفية .

Terjemahan: Ketetapan secara syariat, persaksian adalah salah satu dari cara-cara menetapkan wakaf. Disyaratkan di dalam pengakuan wakaf; adalah menjelaskan wakaf walaupun telah lewat. Wakaf diterima ketetapannya dengan cara persaksian terhadap persaksian; dan persaksian perempuan berserta lelaki, persaksian dengan cara kemasyhuran dan perbicaraan orang banyak dengan perkataan orang yang bersaksi: “Aku bersaksi dengan perbicaraan orang banyak”. Persaksian dengan perbicaraan orang banyak itu diterima untuk menjelaskan tempat tasarrufnya; seperti ucapan mereka terhadap masjid yang ini. Dan juga diterima untuk menjelaskan orang-orang yang berhak. Persaksian tidak diterima untuk menetapkan syarat-syarat wakaf menurut pendapat yang lebih sah. Adapun akte tulisan (akte notaris) itu tidak patut menjadi hujjah, karena tulisan itu menyamai tulisan. Dan pensyaratan membatasi perkarangan wakaf tidak menjadi syarat untuk sahnya wakaf, karena syarat adanya wakaf itu haruslah diketahui. Hanya saja pembatasan itu adalah syarat untuk diterimanya persaksian wakaf.
Oleh karena ini, Mahkamah Syariah Mesir dan Syiria menetapkan secara hukum positif (قانون) agar mensyaratkan sahnya wakaf dengan bersaksi secara resmi dari orang yang akan mewakafkan di depan salah satu dari mahkamah-mahkamah syariah yang bertempat di daerah barang wakafan tersebut kesemuanya atau kebanyakannya. Ini bertujuan menutup kemungkinan adanya pendakwaan yang batil untuk menetapkan kewakafan dengan persaksian yang palsu (شهادة الزور). Ketetapan ini sesuai dengan hukum positif yang mana mensyaratkan adanya pendaftaran resmi dalam hal sertifikat tanah bagi segala tasharuf yang dilakukan terhadap tanah, di manapun ia berada, dan kapanpun tasharuf  itu terjadi.
Seperti yang telah diterangkan di atas, bahwa wakaf itu bisa terjadi ketika telah menetapi rukun-rukunnya. Salah satu yang disepakati oleh semua ulama, adalah adanya shîghat.
Syarat-syarat shîghat di dalam fiqh serta beberapa perbedaan pendapat di dalamnya itu ada empat:
1.   Sifat Ta`bîd (selamanya): menurut mayoritas ulama kecuali mazhab Maliki, itu mensyaratkan adanya sifat selamanya, bukan terbatas waktu. Hanya saja ia tidak perlu dilafazkan. Akan tetapi, sifat ini akan tercacati ketika shîghatnya mengandung isi sifat terbatas waktu (ta`qît). Seperti contoh “aku mewakafkan tanah ini sebulan”. Maka menurut mayoritas ulama dalam hal ini, wakaf tidak sah.
2.       Sifat Tanjîz: yaitu tidak digantungkan dengan sesuatu yang lain, dan ia jadi secara langsung, dan tidak menanti sebuah syarat untuk berlaku. Contoh shîghat yang tidak Tanjîz adalah “Ketika Zaid datang, maka aku mewakafkannya”. Ini adalah syarat menurut mayoritas ulama kecuali Maliki.
3.      Sifat al-`Ilzâm: yaitu sebuah sifat yang tidak terdapat di dalamnya sebuah ketentuan untuk khiyâr seperi contoh: “aku mewakafkan tanah ini dengan syarat aku dapat menariknya kembali atau si fulan dapat menariknya kembali kapanpun ia mau”. Ini juga adalah syarat menurut mayoritas ulama kecuali Maliki.
4.  Sifat menjelaskan tempat pegunaannya: yaitu sebuah sifat di mana ia menunjukkan tujuan penggunaan dari barang wakafan tersebut. Seperti contoh: “aku mewakafkan tanah ini untuk dibangun masjid”. Ketika tidak ada sifat ini semisal “sku mewakafkan tanah ini (secara mutlak)”, maka menrut pendapat yang `azhar di dalam mazhab Syafi’i tidak sah. Syarat ini hanya diletakkan oleh mazhab Syafi’i melalui pendapatnya yang `azhar.
Melihat kanyataan ini, shîghat wakaf terjadi khilâf di kalangan ulama. Oleh karena itu, sesuai kaidah “حكم الحاكم يرفع الخلاف”; maka pemerintah dapat menetapkan ketentuan ikrar melalui Menteri Agama.
Perlu juga diketahui, pada dasarnya pemerintah tidak sepenuhnya menafikan sebuah wakaf yang sudah memenuhi syarat. Oleh karena itu, redaksi di dalam KHI adalah ikrar wakaf, bukan shîghat wakaf. Ini dikarenakan tidak menutup kemungkinan sudah terjadi wakaf di luar prosedur yang secara syariat sudah sah, akan tetapi ditetapkan wakaf tersebut secara resmi melalui proses ikrar ini. Hujjah ini hampir senada dengan pernyataan Wahbah al-Zuhailî seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 223 ayat (3) disebutkan: Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf, dianggap sah jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
Ketentuan yang ditetapkan oleh KHI dalam pasal ini adalah agar ikrar perwakafan ini dikuatkan dengan pembuktian yang berupa persaksian (الشهادة). Secara fiqh, persaksian ini dapat menguatkan sebuah hukum. Dalam ketentuan mazhab Syafi’i, persaksian untuk hal-hal yang berkaitan dengan harta itu memerlukan minimal satu orang saksi dengan disumpah. Ia juga bisa dengan satu lelaki dan dua orang perempuan.
Menurut penulis, faedah diwajibkannya persaksian ini oleh KHI adalah agar menolak kemungkinan terjadi klaim dari orang lain akan harta wakaf tersebut. Juga dapat menghilangkan keraguan atau pertentangan seumpama ada yang meragukan terjadi pemalsuan akta wakaf. Hal ini dapat dikategorikan al-mashlahah al-mursalah yang disepakati oleh beberapa ulama seperti Mâlikiyyah dan Imam al-Ghazâlî.
Selanjutnya Kompilasi Hukum Islam Pasal 223 angka (4) tertulis sebagai berikut:
Dalam melaksanakan Ikrar seperti dimaksud ayat (1) pihak yang mewakafkan diharuskan menyerahkan kepada Pejabat yang tersebut dalam Pasal 215 ayat (6), surat-surat sebagai berikut:
a.    Tanda bukti pemilikan harta benda;
b.   Jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka harus disertai surat keterangan dari Kepala Desa, yang diperkuat oleh Camat setempat yang menerangkan pemilikan benda tidak bergerak dimaksud;
c.  Surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari benda tidak bergerak yang bersangkutan.
Tujuan dari penyerahan tanda bukti pemilikan harta adalah karena KHI mengadopsi pendapat mazhab Syafi’i yang berpegangan bahwa wakaf menyebabkan si pewakaf akan kehilangan haknya terhadap harta wakafan tersebut. Jadi secara logikanya, tanda kepemilikan harta (seperti sertifikat tanah) tersebut harus juga diserahkan kepada Pejabat yang berwenang.
Sedangkan untuk huruf (b) dan (c) adalah bagian dari antisipasi seperti yang telah diterangkan oleh penulis. Secara metodelogis Islam ia adalah bagian dari penerapan sadudz dzara'i dan al-mashlahah al-mursalah yang juga sesuai dengan ruh-ruh syariat Islam.
Tata Cara Formal Perwakafan di Indonesia
Menurut Dr. Abdul Ghofur Anshori, SH. MH.; secara penerapan, maka tata cara perwakafan adalah sebagai berikut:
1.  Perorangan atau badan hukum yang akan mewakafkan tanah miliknya (sebagai calon wakif) datang sendiri di hadapan PPAIW untuk melaksanakan ikrar wakaf. Bila calon wakif tidak dapat datang ke hadapan PPAIW karena suatu sebab, seperti sakit, sudah sangat tua dan lain-lain dapat membuat ikrar wakaf secara tertulis dengan persetujuan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten letak tanah yang bersangkutan di hadapan dua orang saksi. Ikrar wakaf itu kemudian dibacakan pada nazhir di hadapan PPAIW.
2.      Pada waktu menghadap PPAIW tersebut, wakif harus membawa surat-surat sebagai berikut:
a.    Sertifikat hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya seperti surat IPEDA (girik, petok, ketitir dan sebagainya).
b. Surat Keterangan Kepada Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak termasuk sengketa.
c.     Surat keterangan pendaftaran tanah.
d.  Izin dari Bupati/Kotamadya Kepada Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria Setempat.
3.  PPAIW kemudian meneliti surat-surat dan syarat-syarat tersebut, apakah sudah memenuhi untuk pelepasan hak atas tanah (untuk diwakafkan), meneliti saksi-saksi dan mengesahkan susunan nazhir.
4.  Menurut Dr. Abdul Ghofur, wakif mengikrarkan kehendak wakif itu kepada nazir yang telah disahkan. Ikrar tersebut harus diucapkan dengan jelas dan tegas dan dituangkan dalam bentuk tertulis. Bagi wakif yang tidak dapat mengucapkan ikrarnya, karena bisu misalnya, ia dapat menyatakan kehendaknya itu dengan isyarat, kemudian mengisi formulir ikrar wakaf. Kemudian semua yang hadir menandatangani blanko ikrar wakaf. Tentang bentuk dan isi ikrar wakaf tersebut telah ditentukan di dalam peraturan Direktoral Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam tanggal 18 April 1978 No. Kep/D/75/78.
5.    PPAIW segera membuat Akta Ikrar Wakaf rangkap tiga dengan dibubuhi materai dan Salinan Akta Ikrar wakaf rangkap empat. Akta Ikrar Wakaf tersebut paling sedikit memuat: nama dan identitas wakif, nama dan identitas nadzhir, data dan keterangan harta benda wakaf, peruntukan harta benda wakaf dan jangka waktu wakaf. Selanjutnya selambat-lambatnya satu bulan sejak dibuatnya akta, akta tersebut wajib disampaikan kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Disamping membuat akta, PPAIW membukukan semua itu dalam Daftar Akta Ikrar Wakaf dan menyimpannya dengan baik bersama aktanya.
Kajian KHI Pasal 224 Tentang Pendaftaran Benda Wakaf
Kompilasi Hukum Islam Pasal 224 telah mengatur tata cara pendaftaran benda wakaf, sebagai berikut:
"Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 223 ayat (3) dan (4), maka Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas nama Nadzir yang bersangkutan diharuskan mengajukan permohonan kepada Camat untuk mendaftarkan perwakafan benda yang bersangkutan guna menjaga keutuhan dan kelestarian."
Yang dimaksud dalam pasal ini, menurut Dr. Abdul Ghofur Anshori, SH. MH.; dilakukan pendaftaran tanah wakaf di Agraria. PPAIW atas nama nadzir mendaftarkan harta benda wakaf kepada Instansi yang berwenang paling lambat 7 hari kerja sejak Akta Ikrar Wakaf ditandatangani.
Dalam pendaftaran tersebut, PPAIW haruslah melampirkan sertifikat yang bersangkutan atau bila tidak ada boleh menggunakan surat-surat bukti kepemilikan tanah yang ada, salinan Akta Ikrar Wakaf yang dibuat PPAIW dan surat pengesahan nazhir.
Jika nazhir terdiri dari kelompok orang, maka yang ditulis dalam buku tanah dan sertifikatnya adalah nama orang-orang dari kelompok tersebut disertai kedudukannya di dalam kepengurusan. Bila kelak ada nazhir yang meninggal dunia, mengundurkan diri atau diganti, maka diadakan penyesuaian seperlunya, berdasarkan pengesahan susunan nazhir yang dilakukan PPAIW. Jika nazhir itu adalah badan hukum, maka yang ditulis dalam buku tanah dan sertifikatnya adalah nama badan hukum tersebut.

Jumat, 19 Maret 2010

KHUTBAH NIKAH

Hukum Nikah Sirri

Salah satu tantangan bagi Kantor Urusan Agama sebagai pencatat pernikahan di tanah air adalah masih adanya masyarakat yang melakukan nikah kontrak dan pernikahan dibawah tangan alias nikah sirri. Sehingga dengan sendirinya tidak mempunyai buku nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Menurut Drs Zamhari Hasan MM, (Widyaiswara Utama Pusdiklat Tenaga Teknis Keagamaan Departemen Agama RI) pernikahan sirri biasanya terjadi untuk nikah kedua dan seterusnya, karena untuk mendapatkan izin dari isteri pertama sangat sulit. "Pernikahan seperti ini jelas tidak punya kepastian hukum atau tidak punya kekuatan hukum yang paling dirugikan adalah wanita," ujarnya

Istilah nikah sirri atau nikah yang dirahasiakan memang dikenal di kalangan para ulama, paling tidak sejak masa imam Malik bin Anas. Hanya saja nikah sirri yang dikenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah sirri pada masa sekarang. Pada masa dahulu yang dimaksud dengan nikah sirri yaitu pernikahan yang memenuhi unsur-unsur atau rukun-rukun perkawinan dan syaratnya menurut syari'at, yaitu adanya mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, adanya ijab qabul yang dilakukan oleh wali dengan mempelai laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi, hanya saja si saksi diminta untuk merahasiakan atau tidak memberitahukan terjadinya pernikahan tersebut kepada khalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada i'lanun-nikah dalam bentuk walimatul-'ursy atau dalam bentuk yang lain.

Yang dipersoalkan adalah apakah pernikahan yang dirahasiakan, tidak diketahui oleh orang lain sah atau tidak, karena nikahnya itu sendiri sudah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Adapun nikah sirri yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini ialah pernikahan yang dilakukan oleh wali atau wakil wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam atau di Kantor Catatan Sipil bagi yang tidak beragama Islam, sehingga dengan sendirinya tidak mempunyai Akta Nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah. Perkawinan yang demikian di kalangan masyarakat selain dikenal dengan istilah nikah sirri, dikenal juga dengan sebutan perkawinan di bawah tangan.

Nikah sirri yang dikenal masyarakat seperti disebutkan di atas muncul setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selengkapnya lihat disini) dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam kedua peraturan tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan selain harus dilakukan menurut ketentuan agama juga harus dicatatkan. Dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan:
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Meskipun Undang-Undang Perkawinan sudah diberlakukan sejak 32 tahun lalu, praktik perkawinan yang melanggar undang-undang ini terus saja berlangsung. Bahkan, ada gejala terjadi perebutan otoritas antara ulama dan negara.

Dalam diskusi bertema "Illegal Wedding" yang diselenggarakan Pusat Pelatihan dan Informasi Islam dan Hak-hak Perempuan Rahima di Rahima, Jakarta, Kamis (21/6/08), hal tersebut tergambar konkret dari penjelasan Nurul Huda Haem, penghulu dan petugas pencatat akta nikah di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan (saat ini sudah alih tugas sebagai Penyuluh Agama Islam Fungsional di Kec. Mampang Prapatan Jakarta Selatan.

Salah satunya adalah nikah di bawah tangan atau yang umum di sini disebut nikah siri. Secara definisi, Nurul Huda menyebut nikah siri adalah pernikahan yang dilakukan di luar pengawasan petugas sehingga pernikahan itu tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA).

"Dilihat dari undang-undang, hukum nikah siri adalah pelanggaran alias batal demi hukum," tandas Nurul Huda yang menuliskan pengalamannya sebagai penghulu dalam buku Awas! Illegal Wedding. Dari Penghulu Liar Hingga Perselingkuhan (Hikmah Populer, 2007).

Alasan Nurul Huda, negara sudah mengeluarkan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur mengenai perkawinan. Di dalam undang-undang itu disebutkan, perkawinan harus dicatatkan pada KUA. "Undang-undang itu merupakan hasil penggodokan yang melibatkan unsur ulama, Jadi, dapat dikatakan undang-undang itu adalah produk ijtihad ulama Indonesia," tandas Nurul Huda.

Ketika produk hukum negara dilahirkan melalui ijtihad ulama dan untuk kemaslahatan rakyat, menurut Nurul Huda, produk itu menjadi produk syariat juga. "Ada kaidah yang mengatakan, keputusan pemerintah mengikat dan menghilangkan perselisihan," ujarnya.

Pendapat yang mengatakan Islam tidak mengatur pencatatan untuk perkawinan, menurut Nurul Huda, harus dikaitkan dengan perhatian Islam yang besar pada pencatatan setiap transaksi utang dan jual beli. Bila untuk urusan muamalah, seperti utang saja pencatatan dilakukan, apalagi untuk urusan sepenting perkawinan. Alasannya, perkawinan akan melahirkan hukum-hukum lain, seperti hubungan persemendaan, pengasuhan anak, dan hak waris.

Merugikan

Nikah siri bisa terjadi pada banyak kasus. Ada yang dilakukan untuk poligami dengan tidak memberi tahu istri pertama atau istri yang sudah ada lebih dulu. Alasan lain untuk penjajakan sebelum pernikahan yang tercatat dilakukan sehingga bila terjadi ketidakcocokan tidak menimbulkan konsekuensi hukum lain.

Apa pun alasannya, nikah siri atau nikah bawah tangan atau nikah yang tidak dicatatkan di KUA merugikan salah satu pihak. Menurut Nurul Huda maupun Leli Nurohmah dari Rahima, dalam banyak kasus yang paling merugi adalah perempuan dan anak-anak.

Pernikahan yang tidak dicatatkan, misalnya, bila menghasilkan anak, maka anak tersebut hanya diakui hak-haknya dari pihak ibu. Dalam pembuatan akta kelahiran, misalnya, anak hanya akan dicatat mengikuti nama ibu karena pencatatan sipil untuk kelahiran anak mensyaratkan adanya surat nikah resmi dari negara.

"Ada kasus di mana orangtua terpaksa membuat akta nikah palsu (karena orangtua menikah siri). Mereka menyadari betul itu pelanggaran, padahal ketika menikah (siri) dulu katanya menjunjung syariat, sekarang kok malah melanggar syariat," ungkap Nurul Huda.

Leli Nurohmah yang melakukan penelitian mengenai poligami untuk tesis S-2 di Progam Kajian Wanita Program Pascasarjana Universitas Indonesia menyebutkan, longgarnya kebolehan pernikahan siri di masyarakat sangat memudahkan poligami.

"Di Cinere (Bogor) sangat banyak poligami, di dalam satu RT saja bisa terdapat 10 rumah tangga poligami melalui pernikahan siri. Ketika saya cek ke pengadilan agama setempat, tidak ada yang mengajukan proses pernikahan poligami. Begitu juga di Kantor Urusan Agama," ungkap Leli.

Leli menegaskan, perkawinan siri yang menjadi praktik umum di masyarakat membuka memudahkan laki-laki berpoligami tanpa melalui prosedur yang disyaratkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Padahal, undang-undang ini pada prinsipnya menganut asas monogami.

Berebut otoritas

Dalam pengalaman Nurul Huda sebagai penghulu maupun Leli sebagai aktivis di Rahima, pernikahan siri membawa lebih banyak kerugian untuk perempuan dan anak.

"Sayangnya, Majelis Ulama Indonesia mengesahkan pernikahan di bawah tangan walaupun berkontradiksi dengan Undang-Undang Perkawinan. Sepertinya terjadi perebutan otoritas antara ulama dan pemerintah," tandas Leli. Leli menunjuk contoh di Jawa Timur, di mana banyak pasangan merasa lebih sreg dinikahkan oleh ulama daripada oleh KUA.

Menurut Nurul Huda, hasil ijtima’ Majelis Ulama Indonesia di Pesantren Gontor, Jawa Timur, tidak menghilangkan pencatatan perkawinan. Dalam konsideran hasil ijtima’ dianjurkan mencatatkan perkawinan di KUA walaupun salah satu klausul menyebutkan nikah di bawah tangan boleh jika memenuhi syarat dan rukun menurut syariat agama. Namun, hukumnya menjadi haram jika terdapat mudarat/bahaya akibat pernikahan tersebut.

"Dengan banyaknya mudarat yang ditimbulkan nikah siri, bisa diambil kesimpulan nikah siri yang membuka pintu kebahayaan yang besar hukumnya haram," kata Nurul Huda.

Melihat begitu mudahnya hukum negara dilanggar tanpa sanksi apa pun, Leli menyebut diperlukan revisi atas UU Perkawinan, terutama menyangkut praktik kawin kontrak dan kawin di bawah tangan. Persoalan lain adalah batas usia nikah yang lebih rendah daripada ketetapan dalam UU Perlindungan Anak.

Di dalam Kompilasi Hukum Islam pada BAB II tentang DASAR-DASAR PERKAWINAN disebutkan :

Pasal 2
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Pasal 3
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Pasal 4
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal 5
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.

Pasal 6
(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.
(Lihat Kompilasi Hukum Islam ada disini)

Ketentuan dari pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 selanjutnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Pasal-pasal yang berkaitan dengan tatacara perkawinan dan pencatatannya, antara lain Pasal 10, 11, 12, dan 13.

Pasal 10 PP No. 9 Tahun1975 mengatur tata cara perkawinan. Dalam ayat (2) disebutkan: "Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Dalam ayat (3) disebutkan: "Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi".

Tentang pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 11:
Sesaat setelah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.
Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi.

Dalam Pasal 12 diatur hal-hal apa saja yang dimuat dalam akta perkawinan, dan dalam Pasal 13 diatur lebih lanjut tentang akta perkawinan dan kutipannya, yaitu:
Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua), helai pertama disimpan oleh Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan dalam wilayah Kantor pencatatan Perkawinan itu berada
Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan.


Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, pada awalnya hukum Islam tidak secara konkret mengaturnya. Pada masa Rasulullah saw maupun sahabat belum dikenal adanya pencatatan perkawinan. Waktu itu perkawinan sah apabila telah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Untuk diketahui warga masyarakat, pernikahan yang telah dilakukan hendaknya di'ilankan, diumumkan kepada khalayak luas, antara lain melalui media walimatul-'ursy. Nabi saw bersabda:

أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ (رواه ابن ماجة عن عائشة
Artinya: Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana [HR. Ibnu Majah dari 'Aisyah].
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ (رواه البخارى عن عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ
Artinya: Adakanlah walimah (perhelatan) meskipun hanya dengan memotong seekor kambing [HR. al-Bukhari dari 'Abdurrahman bin 'Auf].

Apabila terjadi perselisihan atau pengingkaran telah terjadinya perkawinan, pembuktiannya cukup dengan alat bukti persaksian.

Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya karena perubahan dan tuntutan zaman dan dengan pertimbangan kemaslahatan, di beberapa negara muslim, termasuk di Indonesia, telah dibuat aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatannya. Hal ini dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan, seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi perselisihan di antara suami isteri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing, karena dengan akta nikah suami isteri memiliki bukti otentik atas perkawinan yang terjadi di antara mereka. Perubahan terhadap sesuatu termasuk institusi perkawinan dengan dibuatnya Undang-undang atau peraturan lainnya, merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan dan bukan sesuatu yang salah menurut hukum Islam. Perubahan hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ اْلأَزْمَانِ.
Artinya: Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman.

Ibnu al-Qayyim menyatakan :
تَغَيُّرُ اْلفَتْوَى وَاخْتِلاَفُهَا بِحَسْبِ تَغَيُّرِ اْلأَزْمِنَةِ وَاْلأَمْكِنَةِ وَاْلأَحْوَالِ وَالنِّيَّاتِ وَاْلعَوَائِدِ.
Artinya: Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat [I'lam al-Muwaqqi'in, Juz III, hlm. 3].

Selain itu pencatatan perkawinan selain substansinya untuk mewujudkan ketertiban hukum juga mempunyai manfaat preventif, seperti supaya tidak terjadi penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut ketentuan agama maupun peraturan perundang-undangan. Tidak terjadi perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang antara keduanya dilarang melakukan akad nikah. Menghindarkan terjadinya pemalsuan identitas para pihak yang akan kawin, seperti laki-laki yang mengaku jejaka tetapi sebenarnya dia mempunyai isteri dan anak. Tindakan preventif ini dalam peraturan perundangan direalisasikan dalam bentuk penelitian persyaratan perkawinan oleh Pegawai Pencatat, seperti yang diatur dalam Pasal 6 PP Nomor 9 Tahun 1975.

Keharusan mencatatkan perkawinan dan pembuatan akta perkawinan, dalam hukum Islam, diqiyaskan kepada pencatatan dalam peroalan mudayanah yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatnya, seperti disebutkan dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 282:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya ... .

Akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 21:

وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقاً غَلِيظاً
Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.

Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan.

Dengan demikian mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan tidak diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain terutama isteri dan anak-anak. Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu prinsip dalam penetapan hukum Islam, sebagaimana disebutkan dalam qaidah:
تََصَرُّفُ اْلاِمَامُ عَلىَ الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ.
Artinya: Suatu tindakan pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya.
Artinya: Suatu tindakan pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya.

Atas dasar pertimbangan di atas, maka bagi warga masyarakat , wajib hukumnya mencatatkan perkawinan yang telah dilakukannya. Undang-undang No.22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah Talak Dan Rujuk di dalam pasal 3 ayat 1 menyebutkan : Barang siapa yang melakukan akad nikah atau nikah dengan seorang perempuan tidak di bawah pengawasan pegawai yang dimaksudkan pada pasal 1 ayat 2 (Pegawai Pencatat Nikah) atau wakilnya, dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp. 50,- (lima puluh rupiah). Pasal 3 ayat 2 menyebutkan : Barang siapa yang menjalankan pekerjaan yang tersebut pada pasal 1 ayat 2 dengan tidak ada haknya, dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 100,- (seratus rupiah).

Bahan Referensi : 

Al-Qur'an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI
Kutubussittah Versi Digital (Shohih Muslim, Bukhori, Muslim, dll)
Maktabah Asysyaamilah Bag. Al-fushul Fil Ushul 
I'lam al-Muwaqqi'in, Juz III, hlm. 3
Undang-undang No.22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah Talak Dan Rujuk
Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974PP Nomor 9 Tahun 1975. Tentang Pelaksanaan Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
KHI (kompilasi Hukum Islam)
http://www.muhammadiyah.or.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=865
Kompas

Poligami dan Prosedurnya

DASAR HUKUM
UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 4 ayat 1 “Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang sebagaimana dalam Pasal 3 Ayat (2) mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya”.
KMA No. 477 Tahun 2004 Pasal 7 Ayat (2) huruf I : ”Izin dari Pengadilan bagi seorang suami yang hendak beristeri lebih dari seorang.”

PROSEDUR POLIGAMI
  1. Calon suami datang ke Kelurahan/Desa meminta surat pengantar ke Pengadilan dengan membawa KTP dan Kartu Keluarga
  2. Datang ke Pengadilan Agama dengan membawa surat-surat dari Kelurahan/ Desa, surat persetujuan dari isteri pertama, surat pernyataan bisa berlaku adil, surat keterangan penghasilan dan surat-surat lain yang dibutuhkan Pengadilan Agama
  3. Sidang penetapan izin poligami di Pengadilan Agama
  4. Datang ke Kelurahan/Desa dengan membawa penetapan izin poligami dan meminta surat-surat untuk pernikahan berupa surat keterangan, model N1, N2, N3, & N4
  5. Laporan Pernikahan ke KUA Kecamatan
  6. Ijab Qabul.

 
Design by Muhammad Zainudin | Penghulu KUA Kec. Mranggen