Selasa, 03 Februari 2009

Ketika Menikah Didasari "Kepalsuan"

Liputan6.com, Semarang: Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Semarang, Jawa Tengah, Senin (31/1) pekan silam, Budiyono divonis majelis hakim dengan hukuman empat bulan kurungan. Pasalnya, pria ini dinilai terbukti membuat akta nikah palsu. Pada persidangan itu juga meluncur pengakuan dari Budiyono, bahwa dia telah membuat surat nikah yang asli tapi palsu itu sebanyak tiga kali.

Yang membuat majelis hakim yang diketuai Fathurahman ini geleng-geleng kepala, adalah keterangan Budiyono yang mengatakan bahwa hanya diperlukan waktu 10 hari baginya membuat sepasang wanita berlainan jenis menjadi suami istri yang sah di atas kertas. Untuk semua itu, dia tak memerlukan syarat apa pun, pengguna jasanya cukup menunggu akta selesai tanpa harus menyerahkan kartu tanda penduduk atau kartu keluarga.
Sementara pada saat hampir bersamaan, di PN Semarang juga berlangsung persidangan yang menghadirkan Sie Monica Silvia Pramana sebagai terdakwa. Rupanya, Monica adalah pengguna jasa dari si pembuat akta nikah palsu. Berdasarkan keterangan yang dipaparkan di depan persidangan, motif Monica membuat akta nikah palsu adalah untuk menguasai harta warisan pria yang diakuinya sebagai suami.
Dari kedua persidangan tersebut bisa disimpulkan, kasus pemalsuan akta nikah bukanlah hal yang baru di Kota Semarang khususnya dan Jateng pada umumnya. Bahkan, dari data yang dihimpun tim Sigi SCTV, ternyata dalam setahun belakangan lebih dari 350 buku nikah raib di berbagai Kantor Urusan Agama (KUA) di Jateng. Di luar itu, ratusan dan bahkan ribuan blangko surat nikah palsu ikut meramaikan bisnis haram ini di wilayah Semarang dan sekitarnya. 
Beredarnya surat nikah palsu ini dibenarkan seorang pegawai KUA di Jateng, saat tim Sigi memperlihatkan bukti sebuah surat nikah yang diduga palsu. Hal itu kemudian dikuatkan pegawai Kantor Wilayah Departeman Agama Jateng. Bahkan, ciri-ciri surat nikah yang asli pun diperlihatkan kepada tim Sigi. Mulai dari nomor seri surat nikah hingga hologram model baru yang terlihat berbeda dengan surat nikah palsu yang rata-rata nomor seri maupun cetakannya lebih kasar.
Kendati demikian, Kepala Kanwil Depag Jateng, Mashudi, membantah jika di wilayahnya marak beredar surat nikah palsu. Menurut dia, laporan yang masuk sejak tahun 2004 hingga 2005, tidak ada terjadi pencurian surat nikah di wilayah Jateng. "Kalau sebelum tahun 2004 memang ada laporan terjadinya pencurian buku nikah," jelas dia.
Terlepas dari kebenaran laporan itu, yang jelas fakta di lapangan tak bisa dibantah. Apakah buku nikah itu hasil buatan pemalsu atau didapat dari berbagai KUA di Jateng, praktik ini ternyata telah berlangsung lama. Bisnis ini menjadi subur karena peminatnya beragam. Mulai dari pasangan yang telah menikah siri, istri simpanan, mereka yang ingin mengeruk harta warisan hingga pasangan yang tak ingin status perkawinannya diketahui publik.
Untuk membuktikan kebenaran informasi tersebut, tim Sigi pun berusaha menelusuri praktik ini dengan menyamar sebagai sepasang pengantin yang sudah menikah di bawah tangan serta membutuhkan bukti nikah. Namun, dari sebuah kawasan di Semarang, pria yang didatangi menolak melayani dengan alasan hanya mau membantu pengurusan surat nikah yang resmi.
Gagal di tempat ini, tim Sigi lantas beranjak ke tempat lainnya di selatan Kota Semarang. Kebalikan dari sebelumnya, di rumah salah seorang warga, sebut saja namanya Sugondo, obrolan berjalan lancar. Saat diutarakan keinginan untuk mendapatkan akta nikah, Sugondo menyanggupi, bahkan tanpa proses yang berbelit-belit, tak perlu menyerahkan KTP atau surat-surat lainnya.
Tidak mengetahui kalau pertemuan itu direkam dengan sebuah kamera tersembunyi, Sugondo dengan lancar menyebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Tak banyak syarat yang diminta, cukup foto kedua calon serta selembar kertas yang berisi data-data pasangan. Selanjutnya, urusan berada di tangan Sugondo, yang penting setiap pasangan harus membayar Rp 1,5 juta.
Tak hanya itu, soal pencatatan tanggal pernikahan juga bisa dipesan sesuai keinginan. Bagi Sugondo, yang penting harganya cocok. "Kalau mau pakai penghulu juga boleh, tapi tambah lagi seratus ribu rupiah," jelas dia. Setelah semuanya disepakati, Sugondo meminta untuk datang tiga hari kemudian, sesuai waktu yang dia butuhkan untuk membuat akta nikah lewat jalan belakang.
Sebagaimana dijanjikan, tiga hari setelah pertemuan sebelumnya tim Sigi kembali datang ke rumah Sugondo dengan berdandan seperti sepasang pengantin. Sugondo ternyata tidak bohong, surat nikah itu sudah siap dan penghulu pun telah hadir. Pasangan yang menyamar ini pun lantas diminta menandatangani buku nikah layaknya acara pernikahan pada umumnya.
Namun, setelah akta nikah yang diserahkan diperhatikan dengan saksama, terlihat cap KUA Mranggen, Demak, pada buku nikah tersebut, padahal pengurusan dilakukan di kediaman Sugondo di Semarang. Untuk membuktikan status buku nikah yang telah didapatkan, tim Sigi berangkat ke Mranggen. Dari petugas di KUA Mranggen yang memeriksanya, didapat kepastian kalau buku nikah itu palsu.
Salah seorang petugas KUA Mranggen, Ahmad Tamkin, lalu membandingkan buku nikah yang dibawa dengan surat nikah asli yang dikeluarkan kantor ini. Selain kode dan seri surat yang salah, nama pejabat pencatat akta nikah pun ternyata pejabat KUA Mranggen pada era 80-an.
Agaknya, bagi mereka yang membutuhkan bukti tentang telah terjadinya sebuah pernikahan, buku nikah itu asli atau palsu tak menjadi persoalan besar. Yang jelas, mereka punya pegangan tentang status pernikahan, terlepas itu didapat melalui jalur belakang. Hal itu pula yang melandasi seorang istri simpanan seorang pejabat ternama di Jateng, sebut saja namanya Donna, mendapatkan akta nikah tanpa jalur resmi.
Menurut pengakuan wanita berusia 23 tahun ini kepada tim Sigi saat ditemui di sebuah hotel di Kota Semarang, setelah setahun memegang akta nikah palsu, Donna merasa tak ada masalah. Masih dari pengakuan Donna, surat nikah itu didapatkannya di sebuah kabupaten yang bertetangga dengan Kota Semarang.
Menurut Donna, buku nikah yang didapatkannya mirip dengan yang asli. Selain itu, proses yang dia jalani juga tak jauh berbeda dengan pernikahan pada umumnya, lengkap dengan ijab serta kehadiran saksi, meski semuanya dilakukan secara tertutup dan menghadirkan saksi dari luar yang dibayar.
Untuk mendapatkan buku nikah itu, Donna harus membayar Rp 1,3 juta guna mengurus segala keperluan. Tentunya, jumlah duit sebesar itu di luar ongkos jasa untuk pihak yang menjadi perantara. Dan Donna cukup memberikan KTP serta foto. Selanjutnya dia tinggal menunggu semuanya selesai. "Yang mengurus juga bukan saya, tapi ibu dari salah seorang sahabat," jelas wanita tersebut.
Selain menemukan fakta tentang mudahnya mengurus sebuah akta nikah melalui jalur tidak resmi, tim Sigi juga menemukan keterlibatan orang dalam untuk memuluskan praktik ini. Seorang penyedia jasa pembuatan akta nikah lainnya, menceritakan bahwa proses pembuatan sebenarnya tidak rumit. Hanya, tidak semua orang mengetahui karena jaringan mereka sangat rahasia.
Yang pasti katanya, proses itu harus melibatkan orang dalam, karena tidak mungkin mendapatkan blangko surat nikah asli tanpa peran orang-orang yang memiliki akses untuk itu. "Buku nikah kan tidak dijual di tempat-tempat umum," ujarnya memberi alasan. Karena semua berkasnya asli, secara kasat mata akan lebih sulit untuk mengetahui palsu atau tidaknya akta tersebut.
Di mata pengamat hukum yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Muhammad Dja'is, munculnya kasus ini dipicu banyak alasan. Mulai dari keinginan kawin lagi tanpa harus meminta izin istri pertama hingga menikah tanpa harus menunggu restu orang tua.
Di luar itu, dosen ini mengingatkan, surat nikah hanyalah catatan pernikahan yang secara prosedur dan hukum dicatat oleh negara. Sementara jika sebuah pernikahan telah terjadi sesuai ketentuan agama, maka perselisihan yang terjadi belakangan, misalnya soal kelengkapan administrasi, tidak lantas membuat pernikahan itu gugur karenanya.
Artinya, pernikahan itu baru dianggap ada ditentukan oleh prosesnya. Dan bukan karena sebuah buku kecil yang disimpan rapi di lemari. Karena itulah, kalau memang sebuah pernikahan telah menjadi kemauan berdua, kenapa harus mencederainya dengan sebuah "kepalsuan"?(ADO/Tim Sigi SCTV)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Muhammad Zainudin | Penghulu KUA Kec. Mranggen