Pada tanggal 10 Juni 1991, Presiden
Republik Indonesia; Soeharto telah mengeluarkan Instruksi Presiden Republik
Indonesia dengan Nomor 1 Tahun 1991 yang inti dari isi INPRES tersebut adalah
menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terdiri dari tiga (3) buku,
yaitu hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan.
Selanjutnya KHI ini dijadikan
sebagai pedoman di dalam menetapkan perkara-perkara yang berhubungan dengan
tiga masalah yang terkandung di dalam KHI tersebut yang dialami oleh orang
Islam. Ini telah ditetapkan oleh Menteri Agama di dalam keputusannya tentang
pelaksanaan INPRES Nomor 1 Tahun 1991 tersebut.
Oleh karena itu, KHI menjadi bagian
penting di dalam kehidupan maysarakat muslim di Indonesia. Ia dapat diibaratkan
sebagai kitab fiqh Indonesia.
Sebagaimana yang telah diterangkan,
KHI mengandung tiga (3) pembahasan. Salah satu yang paling banyak menimbulkan
salah faham adalah masalah wakaf.
Kajian KHI Pasal 223 Tentang Tata
Cara Perwakafan dan Fiqh
Di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal
223 menjalaskan tentang tata cara perwakafan. Pasal 223 angka (1) tertulis
sebagai berikut:
"Pihak yang hendak mewakafkah dapat
menyatakan ikrar wakaf di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk
melaksanakan ikrar wakaf."
Pada dasarnya, ketika rukun-rukun
wakaf telah tercukupi, maka jadilah wakaf. Ini adalah menurut fiqh klasik.
Sedangkan rukun-rukun wakaf menurut mayoritas ulama selain Hanafi adalah orang
yang mewakafkan (واقف), tujuan diwakafkan (موقوف عليه), barang wakafan (موقوف), dan sîghat.
Sedangkan menurut mazhab Hanafi,
rukun wakaf itu hanya ada satu, yaitu shîghat. Shîghat di sini
adalah lafaz-lafaz yang menunjukkan kepada makna wakaf. Seperti contoh kata
seseorang “tanahku ini diwakafkan selamanya terhadap orang-orang miskin”.
Syaikh Wahbah al-Zuhailî di dalam
kitab al-Fiqh al-`Islâmî wa `Adillatuh berkata:
المقرر شرعا
أن الشهادة إحدى طرق إثبات الوقفية، ويشترط في ادعاء الوقف: بيان الوقف ولو كان
قديما، ويقبل في إثباته الشهادة على الشهادة، وشهادة النساء مع الرجال، والشهادة
بالشهرة والتسامع بأن يقول الشاهد: أشهد بالتسامع وتقبل شهادة التسامع لبيان
المصرف، كقولهم على مسجد كذا، ولبيان مستحقين، ولا تقبل لإثبات شرائطه في الأصح.
أما صك الكتابة فلا يصلح حجة؛ لأن الخط يشبه الخط. واشتراط تحديد العقار الموقوف
لا يطلب لصحة الوقف لأن الشرط كونه معلوما وإنما هو شرط لقبول الشهادة الوقفية .
Terjemahan: Ketetapan secara syariat, persaksian adalah salah satu dari cara-cara menetapkan wakaf. Disyaratkan di dalam pengakuan wakaf; adalah menjelaskan wakaf walaupun telah lewat. Wakaf diterima ketetapannya dengan cara persaksian terhadap persaksian; dan persaksian perempuan berserta lelaki, persaksian dengan cara kemasyhuran dan perbicaraan orang banyak dengan perkataan orang yang bersaksi: “Aku bersaksi dengan perbicaraan orang banyak”. Persaksian dengan perbicaraan orang banyak itu diterima untuk menjelaskan tempat tasarrufnya; seperti ucapan mereka terhadap masjid yang ini. Dan juga diterima untuk menjelaskan orang-orang yang berhak. Persaksian tidak diterima untuk menetapkan syarat-syarat wakaf menurut pendapat yang lebih sah. Adapun akte tulisan (akte notaris) itu tidak patut menjadi hujjah, karena tulisan itu menyamai tulisan. Dan pensyaratan membatasi perkarangan wakaf tidak menjadi syarat untuk sahnya wakaf, karena syarat adanya wakaf itu haruslah diketahui. Hanya saja pembatasan itu adalah syarat untuk diterimanya persaksian wakaf.
Oleh karena ini, Mahkamah Syariah
Mesir dan Syiria menetapkan secara hukum positif (قانون) agar mensyaratkan sahnya wakaf dengan bersaksi secara resmi
dari orang yang akan mewakafkan di depan salah satu dari mahkamah-mahkamah
syariah yang bertempat di daerah barang wakafan tersebut kesemuanya atau
kebanyakannya. Ini bertujuan menutup kemungkinan adanya pendakwaan yang batil
untuk menetapkan kewakafan dengan persaksian yang palsu (شهادة الزور). Ketetapan ini sesuai dengan hukum positif yang mana
mensyaratkan adanya pendaftaran resmi dalam hal sertifikat tanah bagi segala tasharuf
yang dilakukan terhadap tanah, di manapun ia berada, dan kapanpun tasharuf
itu terjadi.
Seperti yang telah diterangkan di
atas, bahwa wakaf itu bisa terjadi ketika telah menetapi rukun-rukunnya. Salah
satu yang disepakati oleh semua ulama, adalah adanya shîghat.
Syarat-syarat shîghat di dalam fiqh
serta beberapa perbedaan pendapat di dalamnya itu ada empat:
1. Sifat Ta`bîd (selamanya):
menurut mayoritas ulama kecuali mazhab Maliki, itu mensyaratkan adanya sifat
selamanya, bukan terbatas waktu. Hanya saja ia tidak perlu dilafazkan. Akan
tetapi, sifat ini akan tercacati ketika shîghatnya mengandung isi sifat
terbatas waktu (ta`qît). Seperti contoh “aku mewakafkan tanah ini sebulan”.
Maka menurut mayoritas ulama dalam hal ini, wakaf tidak sah.
2. Sifat Tanjîz: yaitu tidak
digantungkan dengan sesuatu yang lain, dan ia jadi secara langsung, dan tidak
menanti sebuah syarat untuk berlaku. Contoh shîghat yang tidak Tanjîz adalah
“Ketika Zaid datang, maka aku mewakafkannya”. Ini adalah syarat menurut
mayoritas ulama kecuali Maliki.
3. Sifat al-`Ilzâm: yaitu sebuah
sifat yang tidak terdapat di dalamnya sebuah ketentuan untuk khiyâr seperi
contoh: “aku mewakafkan tanah ini dengan syarat aku dapat menariknya kembali
atau si fulan dapat menariknya kembali kapanpun ia mau”. Ini juga adalah syarat
menurut mayoritas ulama kecuali Maliki.
4. Sifat menjelaskan tempat
pegunaannya: yaitu sebuah sifat di mana ia menunjukkan tujuan penggunaan dari
barang wakafan tersebut. Seperti contoh: “aku mewakafkan tanah ini untuk
dibangun masjid”. Ketika tidak ada sifat ini semisal “sku mewakafkan tanah ini
(secara mutlak)”, maka menrut pendapat yang `azhar di dalam mazhab Syafi’i
tidak sah. Syarat ini hanya diletakkan oleh mazhab Syafi’i melalui pendapatnya
yang `azhar.
Melihat kanyataan ini, shîghat
wakaf terjadi khilâf di kalangan ulama. Oleh karena itu, sesuai kaidah “حكم الحاكم
يرفع الخلاف”; maka
pemerintah dapat menetapkan ketentuan ikrar melalui Menteri Agama.
Perlu juga diketahui, pada dasarnya
pemerintah tidak sepenuhnya menafikan sebuah wakaf yang sudah memenuhi syarat.
Oleh karena itu, redaksi di dalam KHI adalah ikrar wakaf, bukan shîghat
wakaf. Ini dikarenakan tidak menutup kemungkinan sudah terjadi wakaf di luar
prosedur yang secara syariat sudah sah, akan tetapi ditetapkan wakaf tersebut
secara resmi melalui proses ikrar ini. Hujjah ini hampir senada dengan
pernyataan Wahbah al-Zuhailî seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal
223 ayat (3) disebutkan: Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar
Wakaf, dianggap sah jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2
(dua) orang saksi.
Ketentuan yang ditetapkan oleh KHI dalam
pasal ini adalah agar ikrar perwakafan ini dikuatkan dengan pembuktian yang
berupa persaksian (الشهادة). Secara fiqh, persaksian ini dapat menguatkan sebuah hukum.
Dalam ketentuan mazhab Syafi’i, persaksian untuk hal-hal yang berkaitan dengan
harta itu memerlukan minimal satu orang saksi dengan disumpah. Ia juga bisa
dengan satu lelaki dan dua orang perempuan.
Menurut penulis, faedah
diwajibkannya persaksian ini oleh KHI adalah agar menolak kemungkinan terjadi klaim
dari orang lain akan harta wakaf tersebut. Juga dapat menghilangkan keraguan
atau pertentangan seumpama ada yang meragukan terjadi pemalsuan akta wakaf. Hal
ini dapat dikategorikan al-mashlahah al-mursalah yang disepakati oleh
beberapa ulama seperti Mâlikiyyah dan Imam al-Ghazâlî.
Selanjutnya Kompilasi Hukum Islam
Pasal 223 angka (4) tertulis sebagai berikut:
Dalam melaksanakan Ikrar seperti
dimaksud ayat (1) pihak yang mewakafkan diharuskan menyerahkan kepada Pejabat
yang tersebut dalam Pasal 215 ayat (6), surat-surat sebagai berikut:
a.
Tanda bukti pemilikan harta benda;
b. Jika
benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka harus disertai surat
keterangan dari Kepala Desa, yang diperkuat oleh Camat setempat yang
menerangkan pemilikan benda tidak bergerak dimaksud;
c. Surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari benda tidak
bergerak yang bersangkutan.
Tujuan dari penyerahan tanda bukti
pemilikan harta adalah karena KHI mengadopsi pendapat mazhab Syafi’i yang
berpegangan bahwa wakaf menyebabkan si pewakaf akan kehilangan haknya terhadap
harta wakafan tersebut. Jadi secara logikanya, tanda kepemilikan harta (seperti
sertifikat tanah) tersebut harus juga diserahkan kepada Pejabat yang berwenang.
Sedangkan untuk huruf (b) dan (c)
adalah bagian dari antisipasi seperti yang telah diterangkan oleh penulis. Secara
metodelogis Islam ia adalah bagian dari penerapan sadudz dzara'i dan al-mashlahah al-mursalah
yang juga sesuai dengan ruh-ruh syariat Islam.
Tata Cara Formal Perwakafan di
Indonesia
Menurut Dr. Abdul Ghofur Anshori,
SH. MH.; secara penerapan, maka tata cara perwakafan adalah sebagai berikut:
1. Perorangan atau badan hukum yang
akan mewakafkan tanah miliknya (sebagai calon wakif) datang sendiri di hadapan
PPAIW untuk melaksanakan ikrar wakaf. Bila calon wakif tidak dapat datang ke
hadapan PPAIW karena suatu sebab, seperti sakit, sudah sangat tua dan lain-lain
dapat membuat ikrar wakaf secara tertulis dengan persetujuan Kepala Kantor
Departemen Agama Kabupaten letak tanah yang bersangkutan di hadapan dua orang
saksi. Ikrar wakaf itu kemudian dibacakan pada nazhir di hadapan PPAIW.
2.
Pada waktu menghadap PPAIW tersebut,
wakif harus membawa surat-surat sebagai berikut:
a. Sertifikat hak milik atau tanda
bukti pemilikan tanah lainnya seperti surat IPEDA (girik, petok, ketitir dan
sebagainya).
b. Surat Keterangan Kepada Desa yang
diperkuat oleh Kepala Kecamatan setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan
tanah dan tidak termasuk sengketa.
c. Surat keterangan pendaftaran tanah.
d. Izin dari Bupati/Kotamadya Kepada
Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria Setempat.
3. PPAIW kemudian meneliti surat-surat
dan syarat-syarat tersebut, apakah sudah memenuhi untuk pelepasan hak atas
tanah (untuk diwakafkan), meneliti saksi-saksi dan mengesahkan susunan nazhir.
4. Menurut Dr. Abdul Ghofur, wakif
mengikrarkan kehendak wakif itu kepada nazir yang telah disahkan. Ikrar
tersebut harus diucapkan dengan jelas dan tegas dan dituangkan dalam bentuk
tertulis. Bagi wakif yang tidak dapat mengucapkan ikrarnya, karena bisu
misalnya, ia dapat menyatakan kehendaknya itu dengan isyarat, kemudian mengisi
formulir ikrar wakaf. Kemudian semua yang hadir menandatangani blanko ikrar
wakaf. Tentang bentuk dan isi ikrar wakaf tersebut telah ditentukan di dalam
peraturan Direktoral Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam tanggal 18 April 1978
No. Kep/D/75/78.
5. PPAIW segera membuat Akta Ikrar
Wakaf rangkap tiga dengan dibubuhi materai dan Salinan Akta Ikrar wakaf rangkap
empat. Akta Ikrar Wakaf tersebut paling sedikit memuat: nama dan identitas
wakif, nama dan identitas nadzhir, data dan keterangan harta benda wakaf,
peruntukan harta benda wakaf dan jangka waktu wakaf. Selanjutnya
selambat-lambatnya satu bulan sejak dibuatnya akta, akta tersebut wajib
disampaikan kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Disamping membuat akta, PPAIW
membukukan semua itu dalam Daftar Akta Ikrar Wakaf dan menyimpannya dengan baik
bersama aktanya.
Kajian KHI Pasal 224 Tentang
Pendaftaran Benda Wakaf
Kompilasi Hukum Islam Pasal 224
telah mengatur tata cara pendaftaran benda wakaf, sebagai berikut:
"Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 223 ayat (3) dan (4), maka Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan atas nama Nadzir yang bersangkutan diharuskan mengajukan permohonan
kepada Camat untuk mendaftarkan perwakafan benda yang bersangkutan guna menjaga
keutuhan dan kelestarian."
Yang dimaksud dalam pasal ini,
menurut Dr. Abdul Ghofur Anshori, SH. MH.; dilakukan pendaftaran tanah wakaf di
Agraria. PPAIW atas nama nadzir mendaftarkan harta benda wakaf kepada Instansi
yang berwenang paling lambat 7 hari kerja sejak Akta Ikrar Wakaf
ditandatangani.
Dalam pendaftaran tersebut, PPAIW
haruslah melampirkan sertifikat yang bersangkutan atau bila tidak ada boleh
menggunakan surat-surat bukti kepemilikan tanah yang ada, salinan Akta Ikrar
Wakaf yang dibuat PPAIW dan surat pengesahan nazhir.
Jika nazhir terdiri dari kelompok
orang, maka yang ditulis dalam buku tanah dan sertifikatnya adalah nama
orang-orang dari kelompok tersebut disertai kedudukannya di dalam kepengurusan.
Bila kelak ada nazhir yang meninggal dunia, mengundurkan diri atau diganti,
maka diadakan penyesuaian seperlunya, berdasarkan pengesahan susunan nazhir
yang dilakukan PPAIW. Jika nazhir itu adalah badan hukum, maka yang ditulis
dalam buku tanah dan sertifikatnya adalah nama badan hukum tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar