Salah satu tantangan bagi Kantor Urusan Agama sebagai pencatat pernikahan di tanah air adalah masih adanya masyarakat yang melakukan nikah kontrak dan pernikahan dibawah tangan alias nikah sirri. Sehingga dengan sendirinya tidak mempunyai buku nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Menurut Drs Zamhari Hasan MM, (Widyaiswara Utama Pusdiklat Tenaga Teknis Keagamaan Departemen Agama RI) pernikahan sirri biasanya terjadi untuk nikah kedua dan seterusnya, karena untuk mendapatkan izin dari isteri pertama sangat sulit. "Pernikahan seperti ini jelas tidak punya kepastian hukum atau tidak punya kekuatan hukum yang paling dirugikan adalah wanita," ujarnya
Menurut Drs Zamhari Hasan MM, (Widyaiswara Utama Pusdiklat Tenaga Teknis Keagamaan Departemen Agama RI) pernikahan sirri biasanya terjadi untuk nikah kedua dan seterusnya, karena untuk mendapatkan izin dari isteri pertama sangat sulit. "Pernikahan seperti ini jelas tidak punya kepastian hukum atau tidak punya kekuatan hukum yang paling dirugikan adalah wanita," ujarnya
Istilah nikah sirri atau nikah yang dirahasiakan memang dikenal di kalangan para ulama, paling tidak sejak masa imam Malik bin Anas. Hanya saja nikah sirri yang dikenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah sirri pada masa sekarang. Pada masa dahulu yang dimaksud dengan nikah sirri yaitu pernikahan yang memenuhi unsur-unsur atau rukun-rukun perkawinan dan syaratnya menurut syari'at, yaitu adanya mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, adanya ijab qabul yang dilakukan oleh wali dengan mempelai laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi, hanya saja si saksi diminta untuk merahasiakan atau tidak memberitahukan terjadinya pernikahan tersebut kepada khalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada i'lanun-nikah dalam bentuk walimatul-'ursy atau dalam bentuk yang lain.
Yang dipersoalkan adalah apakah pernikahan yang dirahasiakan, tidak diketahui oleh orang lain sah atau tidak, karena nikahnya itu sendiri sudah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Adapun nikah sirri yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini ialah pernikahan yang dilakukan oleh wali atau wakil wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam atau di Kantor Catatan Sipil bagi yang tidak beragama Islam, sehingga dengan sendirinya tidak mempunyai Akta Nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah. Perkawinan yang demikian di kalangan masyarakat selain dikenal dengan istilah nikah sirri, dikenal juga dengan sebutan perkawinan di bawah tangan.
Nikah sirri yang dikenal masyarakat seperti disebutkan di atas muncul setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selengkapnya lihat disini) dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam kedua peraturan tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan selain harus dilakukan menurut ketentuan agama juga harus dicatatkan. Dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan:
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Meskipun Undang-Undang Perkawinan sudah diberlakukan sejak 32 tahun lalu, praktik perkawinan yang melanggar undang-undang ini terus saja berlangsung. Bahkan, ada gejala terjadi perebutan otoritas antara ulama dan negara.
Dalam diskusi bertema "Illegal Wedding" yang diselenggarakan Pusat Pelatihan dan Informasi Islam dan Hak-hak Perempuan Rahima di Rahima, Jakarta, Kamis (21/6/08), hal tersebut tergambar konkret dari penjelasan Nurul Huda Haem, penghulu dan petugas pencatat akta nikah di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan (saat ini sudah alih tugas sebagai Penyuluh Agama Islam Fungsional di Kec. Mampang Prapatan Jakarta Selatan.
Salah satunya adalah nikah di bawah tangan atau yang umum di sini disebut nikah siri. Secara definisi, Nurul Huda menyebut nikah siri adalah pernikahan yang dilakukan di luar pengawasan petugas sehingga pernikahan itu tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA).
"Dilihat dari undang-undang, hukum nikah siri adalah pelanggaran alias batal demi hukum," tandas Nurul Huda yang menuliskan pengalamannya sebagai penghulu dalam buku Awas! Illegal Wedding. Dari Penghulu Liar Hingga Perselingkuhan (Hikmah Populer, 2007).
Alasan Nurul Huda, negara sudah mengeluarkan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur mengenai perkawinan. Di dalam undang-undang itu disebutkan, perkawinan harus dicatatkan pada KUA. "Undang-undang itu merupakan hasil penggodokan yang melibatkan unsur ulama, Jadi, dapat dikatakan undang-undang itu adalah produk ijtihad ulama Indonesia," tandas Nurul Huda.
Ketika produk hukum negara dilahirkan melalui ijtihad ulama dan untuk kemaslahatan rakyat, menurut Nurul Huda, produk itu menjadi produk syariat juga. "Ada kaidah yang mengatakan, keputusan pemerintah mengikat dan menghilangkan perselisihan," ujarnya.
Pendapat yang mengatakan Islam tidak mengatur pencatatan untuk perkawinan, menurut Nurul Huda, harus dikaitkan dengan perhatian Islam yang besar pada pencatatan setiap transaksi utang dan jual beli. Bila untuk urusan muamalah, seperti utang saja pencatatan dilakukan, apalagi untuk urusan sepenting perkawinan. Alasannya, perkawinan akan melahirkan hukum-hukum lain, seperti hubungan persemendaan, pengasuhan anak, dan hak waris.
Merugikan
Nikah siri bisa terjadi pada banyak kasus. Ada yang dilakukan untuk poligami dengan tidak memberi tahu istri pertama atau istri yang sudah ada lebih dulu. Alasan lain untuk penjajakan sebelum pernikahan yang tercatat dilakukan sehingga bila terjadi ketidakcocokan tidak menimbulkan konsekuensi hukum lain.
Apa pun alasannya, nikah siri atau nikah bawah tangan atau nikah yang tidak dicatatkan di KUA merugikan salah satu pihak. Menurut Nurul Huda maupun Leli Nurohmah dari Rahima, dalam banyak kasus yang paling merugi adalah perempuan dan anak-anak.
Pernikahan yang tidak dicatatkan, misalnya, bila menghasilkan anak, maka anak tersebut hanya diakui hak-haknya dari pihak ibu. Dalam pembuatan akta kelahiran, misalnya, anak hanya akan dicatat mengikuti nama ibu karena pencatatan sipil untuk kelahiran anak mensyaratkan adanya surat nikah resmi dari negara.
"Ada kasus di mana orangtua terpaksa membuat akta nikah palsu (karena orangtua menikah siri). Mereka menyadari betul itu pelanggaran, padahal ketika menikah (siri) dulu katanya menjunjung syariat, sekarang kok malah melanggar syariat," ungkap Nurul Huda.
Leli Nurohmah yang melakukan penelitian mengenai poligami untuk tesis S-2 di Progam Kajian Wanita Program Pascasarjana Universitas Indonesia menyebutkan, longgarnya kebolehan pernikahan siri di masyarakat sangat memudahkan poligami.
"Di Cinere (Bogor) sangat banyak poligami, di dalam satu RT saja bisa terdapat 10 rumah tangga poligami melalui pernikahan siri. Ketika saya cek ke pengadilan agama setempat, tidak ada yang mengajukan proses pernikahan poligami. Begitu juga di Kantor Urusan Agama," ungkap Leli.
Leli menegaskan, perkawinan siri yang menjadi praktik umum di masyarakat membuka memudahkan laki-laki berpoligami tanpa melalui prosedur yang disyaratkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Padahal, undang-undang ini pada prinsipnya menganut asas monogami.
Berebut otoritas
Dalam pengalaman Nurul Huda sebagai penghulu maupun Leli sebagai aktivis di Rahima, pernikahan siri membawa lebih banyak kerugian untuk perempuan dan anak.
"Sayangnya, Majelis Ulama Indonesia mengesahkan pernikahan di bawah tangan walaupun berkontradiksi dengan Undang-Undang Perkawinan. Sepertinya terjadi perebutan otoritas antara ulama dan pemerintah," tandas Leli. Leli menunjuk contoh di Jawa Timur, di mana banyak pasangan merasa lebih sreg dinikahkan oleh ulama daripada oleh KUA.
Menurut Nurul Huda, hasil ijtima’ Majelis Ulama Indonesia di Pesantren Gontor, Jawa Timur, tidak menghilangkan pencatatan perkawinan. Dalam konsideran hasil ijtima’ dianjurkan mencatatkan perkawinan di KUA walaupun salah satu klausul menyebutkan nikah di bawah tangan boleh jika memenuhi syarat dan rukun menurut syariat agama. Namun, hukumnya menjadi haram jika terdapat mudarat/bahaya akibat pernikahan tersebut.
"Dengan banyaknya mudarat yang ditimbulkan nikah siri, bisa diambil kesimpulan nikah siri yang membuka pintu kebahayaan yang besar hukumnya haram," kata Nurul Huda.
Melihat begitu mudahnya hukum negara dilanggar tanpa sanksi apa pun, Leli menyebut diperlukan revisi atas UU Perkawinan, terutama menyangkut praktik kawin kontrak dan kawin di bawah tangan. Persoalan lain adalah batas usia nikah yang lebih rendah daripada ketetapan dalam UU Perlindungan Anak.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam pada BAB II tentang DASAR-DASAR PERKAWINAN disebutkan :
Pasal 2
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Pasal 3
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Pasal 4
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 5
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
Pasal 6
(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.
(Lihat Kompilasi Hukum Islam ada disini)
Ketentuan dari pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 selanjutnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Pasal-pasal yang berkaitan dengan tatacara perkawinan dan pencatatannya, antara lain Pasal 10, 11, 12, dan 13.
Pasal 10 PP No. 9 Tahun1975 mengatur tata cara perkawinan. Dalam ayat (2) disebutkan: "Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Dalam ayat (3) disebutkan: "Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi".
Tentang pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 11:
Sesaat setelah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.
Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi.
Dalam Pasal 12 diatur hal-hal apa saja yang dimuat dalam akta perkawinan, dan dalam Pasal 13 diatur lebih lanjut tentang akta perkawinan dan kutipannya, yaitu:
Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua), helai pertama disimpan oleh Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan dalam wilayah Kantor pencatatan Perkawinan itu berada
Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan.
Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, pada awalnya hukum Islam tidak secara konkret mengaturnya. Pada masa Rasulullah saw maupun sahabat belum dikenal adanya pencatatan perkawinan. Waktu itu perkawinan sah apabila telah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Untuk diketahui warga masyarakat, pernikahan yang telah dilakukan hendaknya di'ilankan, diumumkan kepada khalayak luas, antara lain melalui media walimatul-'ursy. Nabi saw bersabda:
أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ (رواه ابن ماجة عن عائشة
Artinya: Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana [HR. Ibnu Majah dari 'Aisyah].
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ (رواه البخارى عن عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ
Artinya: Adakanlah walimah (perhelatan) meskipun hanya dengan memotong seekor kambing [HR. al-Bukhari dari 'Abdurrahman bin 'Auf].
Apabila terjadi perselisihan atau pengingkaran telah terjadinya perkawinan, pembuktiannya cukup dengan alat bukti persaksian.
Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya karena perubahan dan tuntutan zaman dan dengan pertimbangan kemaslahatan, di beberapa negara muslim, termasuk di Indonesia, telah dibuat aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatannya. Hal ini dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan, seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi perselisihan di antara suami isteri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing, karena dengan akta nikah suami isteri memiliki bukti otentik atas perkawinan yang terjadi di antara mereka. Perubahan terhadap sesuatu termasuk institusi perkawinan dengan dibuatnya Undang-undang atau peraturan lainnya, merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan dan bukan sesuatu yang salah menurut hukum Islam. Perubahan hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ اْلأَزْمَانِ.
Artinya: Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman.
Ibnu al-Qayyim menyatakan :
تَغَيُّرُ اْلفَتْوَى وَاخْتِلاَفُهَا بِحَسْبِ تَغَيُّرِ اْلأَزْمِنَةِ وَاْلأَمْكِنَةِ وَاْلأَحْوَالِ وَالنِّيَّاتِ وَاْلعَوَائِدِ.
Artinya: Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat [I'lam al-Muwaqqi'in, Juz III, hlm. 3].
Selain itu pencatatan perkawinan selain substansinya untuk mewujudkan ketertiban hukum juga mempunyai manfaat preventif, seperti supaya tidak terjadi penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut ketentuan agama maupun peraturan perundang-undangan. Tidak terjadi perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang antara keduanya dilarang melakukan akad nikah. Menghindarkan terjadinya pemalsuan identitas para pihak yang akan kawin, seperti laki-laki yang mengaku jejaka tetapi sebenarnya dia mempunyai isteri dan anak. Tindakan preventif ini dalam peraturan perundangan direalisasikan dalam bentuk penelitian persyaratan perkawinan oleh Pegawai Pencatat, seperti yang diatur dalam Pasal 6 PP Nomor 9 Tahun 1975.
Keharusan mencatatkan perkawinan dan pembuatan akta perkawinan, dalam hukum Islam, diqiyaskan kepada pencatatan dalam peroalan mudayanah yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatnya, seperti disebutkan dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 282:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya ... .
Akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 21:
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقاً غَلِيظاً
Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan.
Dengan demikian mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan tidak diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain terutama isteri dan anak-anak. Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu prinsip dalam penetapan hukum Islam, sebagaimana disebutkan dalam qaidah:
تََصَرُّفُ اْلاِمَامُ عَلىَ الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ.
Artinya: Suatu tindakan pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya.
Artinya: Suatu tindakan pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya.
Atas dasar pertimbangan di atas, maka bagi warga masyarakat , wajib hukumnya mencatatkan perkawinan yang telah dilakukannya. Undang-undang No.22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah Talak Dan Rujuk di dalam pasal 3 ayat 1 menyebutkan : Barang siapa yang melakukan akad nikah atau nikah dengan seorang perempuan tidak di bawah pengawasan pegawai yang dimaksudkan pada pasal 1 ayat 2 (Pegawai Pencatat Nikah) atau wakilnya, dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp. 50,- (lima puluh rupiah). Pasal 3 ayat 2 menyebutkan : Barang siapa yang menjalankan pekerjaan yang tersebut pada pasal 1 ayat 2 dengan tidak ada haknya, dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 100,- (seratus rupiah).
Bahan Referensi :
Al-Qur'an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI
Kutubussittah Versi Digital (Shohih Muslim, Bukhori, Muslim, dll)
Maktabah Asysyaamilah Bag. Al-fushul Fil Ushul
I'lam al-Muwaqqi'in, Juz III, hlm. 3
Undang-undang No.22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah Talak Dan Rujuk
Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974PP Nomor 9 Tahun 1975. Tentang Pelaksanaan Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
KHI (kompilasi Hukum Islam)
http://www.muhammadiyah.or.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=865
Kompas
Dalam diskusi bertema "Illegal Wedding" yang diselenggarakan Pusat Pelatihan dan Informasi Islam dan Hak-hak Perempuan Rahima di Rahima, Jakarta, Kamis (21/6/08), hal tersebut tergambar konkret dari penjelasan Nurul Huda Haem, penghulu dan petugas pencatat akta nikah di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan (saat ini sudah alih tugas sebagai Penyuluh Agama Islam Fungsional di Kec. Mampang Prapatan Jakarta Selatan.
Salah satunya adalah nikah di bawah tangan atau yang umum di sini disebut nikah siri. Secara definisi, Nurul Huda menyebut nikah siri adalah pernikahan yang dilakukan di luar pengawasan petugas sehingga pernikahan itu tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA).
"Dilihat dari undang-undang, hukum nikah siri adalah pelanggaran alias batal demi hukum," tandas Nurul Huda yang menuliskan pengalamannya sebagai penghulu dalam buku Awas! Illegal Wedding. Dari Penghulu Liar Hingga Perselingkuhan (Hikmah Populer, 2007).
Alasan Nurul Huda, negara sudah mengeluarkan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur mengenai perkawinan. Di dalam undang-undang itu disebutkan, perkawinan harus dicatatkan pada KUA. "Undang-undang itu merupakan hasil penggodokan yang melibatkan unsur ulama, Jadi, dapat dikatakan undang-undang itu adalah produk ijtihad ulama Indonesia," tandas Nurul Huda.
Ketika produk hukum negara dilahirkan melalui ijtihad ulama dan untuk kemaslahatan rakyat, menurut Nurul Huda, produk itu menjadi produk syariat juga. "Ada kaidah yang mengatakan, keputusan pemerintah mengikat dan menghilangkan perselisihan," ujarnya.
Pendapat yang mengatakan Islam tidak mengatur pencatatan untuk perkawinan, menurut Nurul Huda, harus dikaitkan dengan perhatian Islam yang besar pada pencatatan setiap transaksi utang dan jual beli. Bila untuk urusan muamalah, seperti utang saja pencatatan dilakukan, apalagi untuk urusan sepenting perkawinan. Alasannya, perkawinan akan melahirkan hukum-hukum lain, seperti hubungan persemendaan, pengasuhan anak, dan hak waris.
Merugikan
Nikah siri bisa terjadi pada banyak kasus. Ada yang dilakukan untuk poligami dengan tidak memberi tahu istri pertama atau istri yang sudah ada lebih dulu. Alasan lain untuk penjajakan sebelum pernikahan yang tercatat dilakukan sehingga bila terjadi ketidakcocokan tidak menimbulkan konsekuensi hukum lain.
Apa pun alasannya, nikah siri atau nikah bawah tangan atau nikah yang tidak dicatatkan di KUA merugikan salah satu pihak. Menurut Nurul Huda maupun Leli Nurohmah dari Rahima, dalam banyak kasus yang paling merugi adalah perempuan dan anak-anak.
Pernikahan yang tidak dicatatkan, misalnya, bila menghasilkan anak, maka anak tersebut hanya diakui hak-haknya dari pihak ibu. Dalam pembuatan akta kelahiran, misalnya, anak hanya akan dicatat mengikuti nama ibu karena pencatatan sipil untuk kelahiran anak mensyaratkan adanya surat nikah resmi dari negara.
"Ada kasus di mana orangtua terpaksa membuat akta nikah palsu (karena orangtua menikah siri). Mereka menyadari betul itu pelanggaran, padahal ketika menikah (siri) dulu katanya menjunjung syariat, sekarang kok malah melanggar syariat," ungkap Nurul Huda.
Leli Nurohmah yang melakukan penelitian mengenai poligami untuk tesis S-2 di Progam Kajian Wanita Program Pascasarjana Universitas Indonesia menyebutkan, longgarnya kebolehan pernikahan siri di masyarakat sangat memudahkan poligami.
"Di Cinere (Bogor) sangat banyak poligami, di dalam satu RT saja bisa terdapat 10 rumah tangga poligami melalui pernikahan siri. Ketika saya cek ke pengadilan agama setempat, tidak ada yang mengajukan proses pernikahan poligami. Begitu juga di Kantor Urusan Agama," ungkap Leli.
Leli menegaskan, perkawinan siri yang menjadi praktik umum di masyarakat membuka memudahkan laki-laki berpoligami tanpa melalui prosedur yang disyaratkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Padahal, undang-undang ini pada prinsipnya menganut asas monogami.
Berebut otoritas
Dalam pengalaman Nurul Huda sebagai penghulu maupun Leli sebagai aktivis di Rahima, pernikahan siri membawa lebih banyak kerugian untuk perempuan dan anak.
"Sayangnya, Majelis Ulama Indonesia mengesahkan pernikahan di bawah tangan walaupun berkontradiksi dengan Undang-Undang Perkawinan. Sepertinya terjadi perebutan otoritas antara ulama dan pemerintah," tandas Leli. Leli menunjuk contoh di Jawa Timur, di mana banyak pasangan merasa lebih sreg dinikahkan oleh ulama daripada oleh KUA.
Menurut Nurul Huda, hasil ijtima’ Majelis Ulama Indonesia di Pesantren Gontor, Jawa Timur, tidak menghilangkan pencatatan perkawinan. Dalam konsideran hasil ijtima’ dianjurkan mencatatkan perkawinan di KUA walaupun salah satu klausul menyebutkan nikah di bawah tangan boleh jika memenuhi syarat dan rukun menurut syariat agama. Namun, hukumnya menjadi haram jika terdapat mudarat/bahaya akibat pernikahan tersebut.
"Dengan banyaknya mudarat yang ditimbulkan nikah siri, bisa diambil kesimpulan nikah siri yang membuka pintu kebahayaan yang besar hukumnya haram," kata Nurul Huda.
Melihat begitu mudahnya hukum negara dilanggar tanpa sanksi apa pun, Leli menyebut diperlukan revisi atas UU Perkawinan, terutama menyangkut praktik kawin kontrak dan kawin di bawah tangan. Persoalan lain adalah batas usia nikah yang lebih rendah daripada ketetapan dalam UU Perlindungan Anak.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam pada BAB II tentang DASAR-DASAR PERKAWINAN disebutkan :
Pasal 2
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Pasal 3
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Pasal 4
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 5
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
Pasal 6
(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.
(Lihat Kompilasi Hukum Islam ada disini)
Ketentuan dari pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 selanjutnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Pasal-pasal yang berkaitan dengan tatacara perkawinan dan pencatatannya, antara lain Pasal 10, 11, 12, dan 13.
Pasal 10 PP No. 9 Tahun1975 mengatur tata cara perkawinan. Dalam ayat (2) disebutkan: "Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Dalam ayat (3) disebutkan: "Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi".
Tentang pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 11:
Sesaat setelah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.
Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi.
Dalam Pasal 12 diatur hal-hal apa saja yang dimuat dalam akta perkawinan, dan dalam Pasal 13 diatur lebih lanjut tentang akta perkawinan dan kutipannya, yaitu:
Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua), helai pertama disimpan oleh Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan dalam wilayah Kantor pencatatan Perkawinan itu berada
Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan.
Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, pada awalnya hukum Islam tidak secara konkret mengaturnya. Pada masa Rasulullah saw maupun sahabat belum dikenal adanya pencatatan perkawinan. Waktu itu perkawinan sah apabila telah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Untuk diketahui warga masyarakat, pernikahan yang telah dilakukan hendaknya di'ilankan, diumumkan kepada khalayak luas, antara lain melalui media walimatul-'ursy. Nabi saw bersabda:
أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ (رواه ابن ماجة عن عائشة
Artinya: Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana [HR. Ibnu Majah dari 'Aisyah].
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ (رواه البخارى عن عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ
Artinya: Adakanlah walimah (perhelatan) meskipun hanya dengan memotong seekor kambing [HR. al-Bukhari dari 'Abdurrahman bin 'Auf].
Apabila terjadi perselisihan atau pengingkaran telah terjadinya perkawinan, pembuktiannya cukup dengan alat bukti persaksian.
Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya karena perubahan dan tuntutan zaman dan dengan pertimbangan kemaslahatan, di beberapa negara muslim, termasuk di Indonesia, telah dibuat aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatannya. Hal ini dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan, seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi perselisihan di antara suami isteri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing, karena dengan akta nikah suami isteri memiliki bukti otentik atas perkawinan yang terjadi di antara mereka. Perubahan terhadap sesuatu termasuk institusi perkawinan dengan dibuatnya Undang-undang atau peraturan lainnya, merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan dan bukan sesuatu yang salah menurut hukum Islam. Perubahan hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ اْلأَزْمَانِ.
Artinya: Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman.
Ibnu al-Qayyim menyatakan :
تَغَيُّرُ اْلفَتْوَى وَاخْتِلاَفُهَا بِحَسْبِ تَغَيُّرِ اْلأَزْمِنَةِ وَاْلأَمْكِنَةِ وَاْلأَحْوَالِ وَالنِّيَّاتِ وَاْلعَوَائِدِ.
Artinya: Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat [I'lam al-Muwaqqi'in, Juz III, hlm. 3].
Selain itu pencatatan perkawinan selain substansinya untuk mewujudkan ketertiban hukum juga mempunyai manfaat preventif, seperti supaya tidak terjadi penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut ketentuan agama maupun peraturan perundang-undangan. Tidak terjadi perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang antara keduanya dilarang melakukan akad nikah. Menghindarkan terjadinya pemalsuan identitas para pihak yang akan kawin, seperti laki-laki yang mengaku jejaka tetapi sebenarnya dia mempunyai isteri dan anak. Tindakan preventif ini dalam peraturan perundangan direalisasikan dalam bentuk penelitian persyaratan perkawinan oleh Pegawai Pencatat, seperti yang diatur dalam Pasal 6 PP Nomor 9 Tahun 1975.
Keharusan mencatatkan perkawinan dan pembuatan akta perkawinan, dalam hukum Islam, diqiyaskan kepada pencatatan dalam peroalan mudayanah yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatnya, seperti disebutkan dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 282:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya ... .
Akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 21:
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقاً غَلِيظاً
Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan.
Dengan demikian mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan tidak diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain terutama isteri dan anak-anak. Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu prinsip dalam penetapan hukum Islam, sebagaimana disebutkan dalam qaidah:
تََصَرُّفُ اْلاِمَامُ عَلىَ الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ.
Artinya: Suatu tindakan pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya.
Artinya: Suatu tindakan pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya.
Atas dasar pertimbangan di atas, maka bagi warga masyarakat , wajib hukumnya mencatatkan perkawinan yang telah dilakukannya. Undang-undang No.22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah Talak Dan Rujuk di dalam pasal 3 ayat 1 menyebutkan : Barang siapa yang melakukan akad nikah atau nikah dengan seorang perempuan tidak di bawah pengawasan pegawai yang dimaksudkan pada pasal 1 ayat 2 (Pegawai Pencatat Nikah) atau wakilnya, dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp. 50,- (lima puluh rupiah). Pasal 3 ayat 2 menyebutkan : Barang siapa yang menjalankan pekerjaan yang tersebut pada pasal 1 ayat 2 dengan tidak ada haknya, dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 100,- (seratus rupiah).
Bahan Referensi :
Al-Qur'an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI
Kutubussittah Versi Digital (Shohih Muslim, Bukhori, Muslim, dll)
Maktabah Asysyaamilah Bag. Al-fushul Fil Ushul
I'lam al-Muwaqqi'in, Juz III, hlm. 3
Undang-undang No.22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah Talak Dan Rujuk
Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974PP Nomor 9 Tahun 1975. Tentang Pelaksanaan Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
KHI (kompilasi Hukum Islam)
http://www.muhammadiyah.or.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=865
Kompas
0 komentar:
Posting Komentar