Ikatan
pernikahan antara suami-istri dinyatakan habis baik di waktu hidupnya (yakni
bercerai) maupun meninggal salah satu diantara keduanya. Disetiap keadaan ini
terdapat kewajiban masa ‘iddah yaitu
waktu terbatas (menunggu untuk menikah lagi) secara syar’i.
Didalam
masa iddah terdapat hikmah
diantaranya diharamkan merobohkan nilai pernikahan yang telah sempurna, untuk
mengetahui (apakah ada) tanda-tanda kehamilan didalam rahim, agar tidak
menyetubuhinya kecuali memisahkan darinya, masa menunggu dan memutuskan
keturunan (dari suami sebelumnya).
Hikmah
yang lain adalah memuliakan ikatan pernikahan yang lalu, menghormati hak suami
yang telah bercerai dan menampakkan kepada masyarakat bahwa ia telah bercerai.
Bagi wanita yang
telah ditalak, ia harus mengetahui perihal masa ‘iddah ini. Karena wanita yang ditalak baru bisa menikah lagi
dengan pria setelah ia selesai dari masa ‘iddah-nya.
Jika masih dalam masa ‘iddah,
suaminya masih bisa rujuk tanpa mesti dengan akad baru. Namun kalau sudah
melewati masa ‘iddah, lantas suami
ingin kembali lagi pada istri, maka harus dengan akad yang baru.
Pengertian ‘Iddah
Dalam Kifayatul
Akhyar (hal. 391), yang dimaksud ‘iddah adalah masa waktu terhitung
di mana wanita menunggu untuk mengetahui kosongnya rahim, di mana pengetahuan
ini diperoleh dengan kelahiran, atau dengan hitungan bulan atau dengan
perhitungan quru’.
Pembagian Masa ‘Iddah
Al Qodhi’ Abu
Syuja’ dalam matannya membagi ‘iddah
pada wanita dilihat dari sisi wanita yang diceraikan menjadi: (1) wanita yang
ditinggal mati suami, (2) wanita yang tidak ditinggal mati suami.
1- Wanita yang ditinggal mati suami
Wanita yang
ditinggal mati suami ada dua macam: (a) ditinggalkan mati dalam keadaan hamil,
(b) ditinggalkan mati dalam keadaan tidak hamil.
(a) Wanita yang ditinggal mati suami
dalam keadaan hamil, masa ‘iddah-nya
adalah sampai dengan melahirkan, baik masa kelahiran dekat atau jauh. Dalilnya
adalah firman Allah Ta’ala,
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ
أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya.” (QS. Ath Tholaq: 4).
Begitu juga
dalil mengenai Sabi’ah Al Aslamiyah, ia melahirkan sepeninggal suaminya wafat
setelah setengah bulan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
bersabda,
قَدْ حَلَلْتِ فَانْكِحِى
مَنْ شِئْتِ
“Engkau telah halal, silakan menikah dengan siapa yang engkau suka” (HR. An Nasai no. 3510. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih)
(b) Wanita yang ditinggal mati suami dalam keadaan tidak
hamil, masa ‘iddah-nya adalah 4 bulan
10 hari, baik sesudah disetubuhi ataukah tidak. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ
أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
وَاللَّـهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah
para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al Baqarah: 234)
Ditambah dengan
sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ
تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ
ثَلاَثِ لَيَالٍ ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Tidak
dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk
berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian
suaminya, yaitu (selama) empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari no. 5334
dan Muslim no. 1491). Sedangkan wanita hamil yang ditinggal mati suami tidak
termasuk dalam dua dalil ini karena dikhususkan dengan dalil yang disebutkan
sebelumnya.
2- Wanita yang tidak ditinggal
mati suami
Yang dimaksud
wanita jenis adalah wanita yang diceraikan, wanita yang berpisah dengan li’an atau faskh, atau setelah disetubuhi. Untuk wanita jenis ini ada tiga
macam: (a) diceraikan dalam keadaan hamil, (b) diceraikan dengan ‘iddah hitungan quru’, (c) diceraikan dengan ‘iddah
hitungan bulan
(a) Wanita yang diceraikan dalam
keadaan hamil, masa ‘iddah-nya adalah
sampai ia melahirkan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ
أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya.” (QS. Ath Tholaq: 4).
(b) Wanita yang memiliki quru’ bagi wanita yang
masih mengalami haidh, yaitu ia menunggu sampai tiga kali quru’.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ
يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ
“Wanita-wanita
yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh
mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhirat.” (QS. Al Baqarah: 228).
Yang dimaksud quru’
di sini diperselisihkan oleh para ulama karena makna quru’ yang dapat
dipahami dengan dua makna (makna musytarok). Ada yang berpendapat makna quru’ adalah suci, seperti pendapat
dalam madzhab Syafi’i. Ada yang berpendapat, maknanya adalah haid.
Contoh: Wanita
ditalak tanggal 1 Ramadhan (01/09). Kapan masa ‘iddah-nya jika memakai tiga kali haid atau tiga kali suci? Coba
perhatikan tabel berikut ini.
01/09
|
05/09 - 11/09
|
11/09 - 05/10
|
05/10 - 11/10
|
11/10 - 05/11
|
05/11 - 11/11
|
11/11
|
Talak ketika Suci
|
Haid
|
Suci
|
Haid
|
Suci
|
Haid
|
Suci
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
- Jika yang
menjadi patokan adalah tiga kali suci: masa ‘iddah dimulai dihitung ketika masa suci saat dijatuhkan talak
dan berakhir pada tanggal 5/11 (5 Dzulqo’dah) saat muncul darah haid ketiga. Di sini masa ‘iddah akan melewati dua kali haid.
- Jika yang
menjadi patokan adalah tiga kali haid: masa ‘iddah dimulai dihitung dari haidh tanggal 5/9 (5 Ramadhan) dan
berakhir pada tanggal 11/11 (11 Dzulqo’dah) setelah haidh ketiga selesai
secara sempurna. Di sini masa ‘iddah
akan melewati tiga kali haidh secara sempurna.
Jika kita
perhatikan, hitungan dengan tiga kali haid ternyata lebih lama dari tiga kali
suci.
Manakah di antara dua pendapat di atas yang lebih kuat? Tiga kali suci
ataukah tiga kali haid?
Pendapat yang
lebih kuat setelah penelusuran dari dalil-dalil yang ada, yaitu makna tiga
quru’ adalah tiga kali haid. Pengertian quru’
dengan haid telah disebutkan oleh lisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri.
Beliau berkata kepada wanita yang mengalami istihadhoh,
إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ
فَانْظُرِى إِذَا أَتَى قُرْؤُكِ فَلاَ تُصَلِّى فَإِذَا مَرَّ قُرْؤُكِ
فَتَطَهَّرِى ثُمَّ صَلِّى مَا بَيْنَ الْقُرْءِ إِلَى الْقُرْءِ
“Sesungguhnya
darah (istihadhoh) adalah urat (yang luka). Lihatlah, jika datang quru’, janganlah
shalat. Jika telah berlalu quru’, bersucilah kemudian shalatlah di antara masa
quru’ dan quru’.” (HR. Abu Daud no. 280, An Nasai no. 211, Ibnu Majah no.
620, dan Ahmad 6: 420. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Yang dimaksud dalam hadits ini, makna quru’ adalah haid. Pendapat ini
dianut oleh kebanyakan ulama salaf seperti empat khulafaur rosyidin, Ibnu
Mas’ud, sekelompok sahabat dan tabi’in, para ulama hadits, ulama Hanafiyah dan
Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya. Imam Ahmad berkata, “Dahulu aku
berpendapat bahwa quru’ bermakna suci. Saat ini aku berpendapat bahwa quru’
adalah haidh.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 29: 308)
Kami tidak
membawakan perselisihan ini lebih panjang. Itulah kesimpulan kami dari
dalil-dalil yang kami pahami. Yang berpendapat seperti ini Syaikh Sholeh Al
Fauzan- (Al Mulakhos Al Fiqhiyyah, 2: 426) dan penulis kitab Shahih Fiqh
Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim (Shahih Fiqh Sunnah, 2:
319-322).
Catatan:
•
Hitungan ‘iddah menggunakan kalender
Hijriyah, bukan kalender Masehi.
• Talak
yang syar’i jika dilakukan ketika:
(1) suci dan (2) belum disetubuhi.
(c) Wanita yang tidak memiliki masa
haid yaitu anak kecil yang belum datang bulan dan wanita yang monopause
(berhenti dari haid), maka masa ‘iddahnya adalah tiga bulan. Dalilnya adalah
firman Allah Ta’ala,
وَاللَّائِي يَئِسْنَ
مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ
أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ
يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan
perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa
iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath Tholaq: 4).
(d) Wanita yang dicerai sebelum disetubuhi, maka ia tidak
memiliki masa ‘iddah. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ
أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang
beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka
sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah (hadiah untuk membuat mereka
senang) dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya” (QS.
Al Ahzab: 49).
sumber: http://rumaysho.com