Rabu, 18 Desember 2013

KPK: Penghulu Terima Amplop karena Anggaran Operasional KUA Minim



JAKARTA, KOMPAS.com — Terbatasnya anggaran operasional di Kantor Urusan Agama (KUA) menjadi salah satu masalah yang mengakibatkan maraknya penghulu menerima gratifikasi atau pemberian uang di luar ongkos resmi pencatatan nikah. Hal ini merupakan salah satu kesimpulan diskusi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi bersama dengan Kementerian Agama, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat.

“Kondisi penerimaan gratifikasi penghulu disebabkan keterbatasan anggaran di KUA,” kata Direktur Gratifikasi KPK Giri Suprapdiono dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Rabu (18/12/2013).

Hadir dalam jumpa pers tersebut Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, Inspektur Jenderal Kementerian Agama M Jasin, Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Askolani, serta perwakilan Kemenkokesra.

Menurut Giri, biaya operasional KUA yang ada selama ini masih minim. Tiap-tiap KUA hanya mendapatkan biaya operasional sekitar Rp 2 juta per bulan.

”Masing-masing KUA Rp 2 juta per bulan, tahun depan naik jadi Rp 3 juta, untuk biaya rutin, honor penjaga kantor, petugas kebersihan, yang lebih kurang dibayar Rp 100.000 per bulan,” tutur Giri.

Selain itu, lanjutnya, hanya sedikit KUA yang memiliki kendaraan operasional untuk digunakan para penghulu mendatangi calon pengantin. Kalaupun ada kendaraan operasional, kata Giri, jarang dibarengi dengan biaya pemeliharaan.

“Tidak ada sarana atau prasarana bagi penghulu untuk mendatangi calon pengantin. Ini menjadi alasan pembenaran penerimaan gratifikasi walaupun atas dasar kerelaan,” ujarnya.

Untuk mengatasi masalah tersebut, KPK bersama dengan kementerian terkait mencoba membangun sistem yang diharapkan mampu menciptakan pelayanan nikah yang lebih bersih. Hasil diskusi KPK dengan sejumlah kementerian tersebut disepakati sejumlah solusi. Adapun solusi yang pertama adalah dengan membebankan pada APBN biaya operasional penghulu yang menikahkan di luar KUA atau di luar jam kerja.

“Biaya operasional di luar kantor atau di luar jam kerja dibebankan pada APBN, tidak boleh lagi menerima dari pihak yang bukan resmi,” ujar Giri.

Solusi kedua, lanjut Giri, dengan mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 yang mengatur tentang biaya administrasi pencatatan nikah dan cerai. Namun, Giri tidak menjelaskan bagian mana dari PP yang perlu diubah.

“Paling lambat akhir Januari 2014,” ucapnya.

Dia menambahkan, sambil menunggu terbitnya PP yang baru, Kemenag akan mengeluarkan edaran catatan sesuai dengan peraturan yang berlaku.


Kompas.com
Rabu, 18 Desember 2013 | 13:32 WIB

 
Design by Muhammad Zainudin | Penghulu KUA Kec. Mranggen