Kamis, 31 Januari 2013

8 Opsi Tuntaskan Gratifikasi dan Pungli di KUA


JAKARTA -  Kementerian Agama (Kemenag) mengkaji delapan opsi sebagai upaya penyelesaian permasalahan di Kantor Urusan Agama (KUA) terkait praktik “korupsi” dalam pencatatan pernikahan. Butuh optimalisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena lingkup kerjanya sangat luas sementara anggaran ditetapkan saat ini sangat minim.
Inspektur Jenderal Kemenag, Mochammad Jasin, mengatakan mengurus pernikahan oleh KUA sebenarnya hanya salah satu lingkup kerja saja. Tugas KUA relatif banyak mencakup urusan wakaf, zakat,  penyelenggaraan ibadah haji termasuk memberikan manasik, dan membina kerukunan umat beragama. "Jadi sebenarnya ujung tombak juga di Kemenag," ujarnya di kantor Irjen Kemenag, Jakarta, kemarin.
Namun anggaran operasional KUA sangat minim. Dalam sebulan hanya dipatok memiliki anggaran rata-rata sebesar Rp 2 juta. Minimnya anggaran ini menjadi salah satu faktor suburnya praktik gratifikasi dan pungutan liar terutama dalam peristiwa nikah.
Maka, kata Jasin, pihaknya saat ini sedang menggodok delapan opsi untuk dipilih salah satunya sebagai solusi. Pertama, menggratiskan biaya pernikahan serta semua pencatatan nikah dilakukan di KUA dan di hari kerja. Opsi kedua, menaikkan biaya pencatatan nikah dan pencatatan nikah tetap dilaksanakan di KUA pada hari dan jam kerja.
Opsi ketiga, membebaskan biaya pencatatan pernikahan dan memberikan uang transport lokal kepada para penghulu sesuai Standar Biaya Masukan (SBM) yang berasal dari APBN sebesar Rp 110 ribu atau ada biaya tambahan kepada penghulu jika dilaksanakan di luar KUA. "Terlebih jika jaraknya jauh, misalnya sampai harus naik kapal boat bolak-balik dan mahal," terusnya.
Keempat, menaikkan biaya pencatatan pernikahan dan memberikan uang transport lokal kepada penghulu Rp 110 ribu untuk setiap pencatatan pernikahan di luar kantor. Kelima, membebaskan biaya pencatatan nikah dan memberikan uang transport lokal, honorarium untuk penghulu yang menjadi wali nikah dan memberikan khutbah nikah dan dibebankan kepada APBN.
Keenam, menaikkan biaya pencatatan pernikahan dan memberikan uang transport lokal dan uang lembur sesuai SBM kepada para penghulu yang bertugas tidak hanya sebagai pencatat nikah. Ketujuh, tarif biaya nikah tidak dinaikkan atau tetap Rp 30 ribu dan bagi penghulu yang bertugas di luar kantor diberikan uang transport lokal dan jasa profesi sesuai dengan Standar Biaya Keluaran (SBK) apabila memberikan khutbah dan menjadi wali.
Opsi terakhir, membebaskan tarif pencatatan nikah dan bagi penghulu yang bertugas di luar kantor diberikan biaya transport lokal Rp 110 ribu atau ada tambahan lain. Bagi penghulu yang khutbah nikah atau jadi wali diberikan biaya profesi Rp 390 ribu. "Untuk opsi kedelapan ini harus mengubah PP nomor 47 tahun 2004 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sebab Rp 30 ribu itu kan masuk ke kas negara, lah kalau dihapus ya itu di PP-nya harus dihilangkan," jelasnya.
KUA sendiri bukan merupakan Satuan Kerja (Satker) di Kemenag. Namun mengangkatnya menjadi Satker untuk saat ini, kata Jasin, tidak memungkinkan karena sedang melaksanakan reformasi birokrasi. "Satker itu kan harus dirampingkan," terusnya.
Menteri Agama, Suryadharma Ali, mengatakan opsi untuk memformalkan pernikahan seperti dalam opsi pertama hampir pasti tidak bisa terwujud. Infrastruktur KUA dinilai belum memadai. Rata-rata gedung kantor lembaga ini kecil dan tidak sedikit masih menyewa. "Bayangkan kalau mempelai pria bawa keluarga 50 orang. Begitu juga perempuannya. Masuk semua ke kantor KUA. Terus kalau dalam sehari ada 5 pasangan mau menikah, ya tidak akan muat," ujarnya saat peresmian kantor Kemenag Nusa Tenggara Barat, Sabtu (26/01).
Lagipula, menurutnya, menikahkan ini bukan semata administrasi tetapi ada faktor ritual keagamaan, budaya, dan klenik. "Maka saya katakan solusi ini tidak tepat," akunya.
Maka sebagai solusi sementara pejabat KUA dilarang mematok harga. "Yang paling salah adalah mematok harga. Jangan sampai begitu," imbuhnya.

Musim Haji 1434 H Disiapkan Kloter Lansia


Jakarta (Pinmas)—Kementerian Agama tengah menyiapkan kloter khusus bagi jamaah usia lanjut (lansia) yang akan berangkat menunaikan ibadah haji pada tahun 1434 H/ 2013. Kloter untuk lansia ini akan mendapatkan fasilitas khusus dalam pelayanan kesehatan karena mereka termasuk jamaah beresiko tinggi (risti).
Demikian dikemukakan Dirjen Penyelenggara Haji dan Umrah Kementerian Agama Anggito Abimanyu di Jakarta, Rabu (30/1). “Masa tinggal di Arab Saudi durasinya lebih pendek antara 20-25 hari, serta pemondokan lokasinya dekat Masjidil Haram” kata Anggito dalam jumpa pers didampingi Sekretaris Ditjen PHU Cepi Supriatna, Direktur Pembinaan Haji Ahmad Kartono, Direktur Pelayanan Haji Sri Ilham Lubis dan Kapus Informasi dan Humas Kemenag Zubaidi.
“Selain itu juga mereka akan mendapatkan bimbingan haji yang khusus, karena usia mereka nanti 83 tahun ke atas, yang merupakan usia risiko tinggi dan berbagai keterbatasan,” kata Anggito Abimanyu.
Menurut dia, demi meningkatkan pelayanan, dan keamanan bagi jamaah, maka pihaknya juga akan menambah petugas kesehatan dan petugas keamanan di Arab Saudi. Berbagai langkah ini, menurut dia, jelas menimbulkan konsekuensi penambahan biaya.
“Namun kami upayakan bahwa tambahan biaya penyelenggaraan itu, tidak akan menambah BPIH yang dibayarkan calon haji kita. Maka akan kita usulkan dana optimalisasi setoran awal, yang tahun lalu mensubsidi Rp 9 juta per orang, maka akan kita upayakan bisa mencapai Rp 12 juta per orang pada 2013,” papar mantan Direktur Kebijakan Fiskal Kementrian Keuangan ini.
Mengenai BPIH (biaya penyelenggaraan ibadah haji) tahun 2013, Anggito mengatakan, pemerintah baru memulai membahas dengan DPR RI. Diharapkan BPIH tahun ini tidak mengalami kenaikan dan dapat ditetapkan bulan April mendatang, dengan demikian lebih cepat dibanding tahun sebelumnya yang penetapannya jatuh pada bulan Agustus.

Sumber: Kemenag.go.id

Minggu, 27 Januari 2013

Nikah Sirri vs. Itsbat Nikah



Meskipun Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 telah diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan berlaku efektif sejak dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pada tanggal 1 Oktober  1975, namun sampai saat ini ketentuan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2)  tentang   pencatatan   perkawinan masih banyak dilanggar. Masih banyak umat Islam yang melakukan praktik kawin atau nikah sirri, yakni tidak mencatatkan perkawinannya pada Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di Kantor Urusan Agama   sehingga tidak mempunyai kutipan akta nikah atau buku nikah yang menjadi bukti otentik terjadinya perkawinan.
Praktik kawin atau nikah sirri ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain karena faktor ketidaktahuan dan ketidaksadaran akan pentingnya dokumen perkawinan maupun karena adanya maksud untuk memanfaatkan celah hukum bagi mereka yang akan melangsungkan poligami, atau menjaga kelangsungan tunjangan suami bagi wanita yang telah bercerai, atau seorang istri takut tunjangannya sebagai istri Pegawai Negeri Sipil yang ditinggal mati oleh suaminya hilang, dan atau karena masalah biaya pencatatan perkawinan  bagi mereka yang tidak mampu.
Di samping faktor tersebut di atas, di kalangan umat Islam  masih ada yang berpegang teguh pada pemahaman bahwa perkawinan sudah sah apabila dilaksanakan menurut ketentuan hukum Islam, tidak perlu ada pencatatan dan tidak perlu ada surat  atau akta nikah,  sehingga perkawinan di bawah tangan atau kawin sirri pun tumbuh subur, seiring dengan tidak adanya sikap  proaktif  Pegawai  Pencatat  Nikah  Kantor  Urusan  Agama    untuk  mengawasi  setiap peristiwa nikah yang ada di wilayahnya.
Pengertian Nikah Sirri
Kata “sirri”  dari segi etimologi berasal dari bahasa Arab sirrun yang berarti secara diam- diam atau tertutup, secara batin, secara rahasia, secara sembunyi-sembunyi, atau misterius. Jadi nikah sirri berarti nikah secara rahasia (secret marriage, pernikahan yang dirahasiakan dari pengetahuan orang banyak).
Menurut Prof. DR. Mahmud Syalthut,   mantan   Rektor Universitas al-Azhar di Kairo Mesir,  berpendapat  bahwa  nikah  sirri  merupakan  jenis  pernikahan di mana akad atau transaksinya (antara laki-laki dan perempuan) tidak dihadiri oleh para saksi, tidak dipublikasikan (i’lan),  tidak  tercatat  secara  resmi,  dan  sepasang  suami  isteri  itu  hidup  secara  sembunyi- sembunyi sehingga tidak ada orang lain selain mereka berdua yang mengetahuinya. Fuqaha berpendapat nikah sirri seperti ini tidak sah (batal), karena ada satu unsur syarat sah nikah yang tidak terpenuhi yakni kesaksian. Jika dalam transaksi akad dihadiri dua orang saksi dan dipublikasikan secara umum, maka nikahnya tidak disebut sirri dan sah menurut syariat. Namun jika kehadiran para saksi berjanji untuk merahasiakan dan tidak mempublikasikannya, fuqaha’ sepakat akan kemakruhannya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendefinisikan kawin sirri  atau nikah di bawah tangan adalah “Pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam) namun tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam perturan perundang-undangan.” Demikian pula pendapat Prof. H.A. Wasit Aulawi, menyebutkan bahwa “nikah  sirri” adalah  pernikahan  yang  belum  diresmikan,  belum  diumumkan secara terbuka kepada masyarakat atau pernikahan yang belum dicatatkan pada lembaga pencatatan. Ini bisa dua-duanya, belum diumumkan secara terbuka kepada masyarakat, atau mungkin hanya salah satunya saja, yaitu sudah dicatat tapi belum diadakan resepsi pernikahan.
H. Wildan Suyuti Mustofa, Ketua PTA Semarang dalam Mimbar Hukum No. 28 Tahun 1996 menulis, nikah sirri dapat dibedakan kepada dua jenis. Pertama, akad nikah yang dilakukan oleh  seorang  laki-laki  dan  seorang  perempuan tanpa  hadirnya  orangtua/wali si perempuan. Dalam perkawinan bentuk pertama ini akad nikah hanya dihadiri oleh laki-laki dan perempuan yang  akan  melakukan  akad  nikah,  dua  orang  saksi,  dan  guru  atau  ulama (kiyai) yang menikahkan tanpa memperoleh pendelegasian dari wali nikah yang berhak. Padahal guru atau ulama (kiyai) tersebut dalam pandangan hukum  Islam tidak  berwenang menjadi  wali nikah karena ia tidak termasuk dalam prioritas  wali nikah.
Kedua, adalah akad nikah yang telah memenuhi syarat dan rukun suatu perkawinan yang legal sesuai dengan ketentuan hukum Islam, tetapi tidak dicatatkan sesuai dengan kehendak Undang-Undang Perkawinan di Indonesia.
Menurut DR. H. A. Gani Abdullah, SH., Hakim Agung dalam Mimbar Hukum No. 23 Tahun 1995 mengatakan, untuk mengetahui apakah pada suatu perkawinan itu terdapat unsur sirri atau tidak, dapat dilihat dari tiga indikator yang harus selalu menyertai perkawinan legal. Apabila salah satu faktor saja tidak terpenuhi, perkawinan itu dapat diidentifikasi sebagai perkawinan sirri. Tiga indikator itu adalah : Pertama,  subyek hukum akad nikah, yang terdiri calon suami, calon istri, dan wali nikah yaitu orang yang berhak sebagai wali, dan dua orang saksi. Kedua, kepastian hukum dari perkawinan tersebut, yaitu ikut hadirnya Pegawai Pencatat Nikah pada saat nikah dilangsungkan. Ketiga, walimatulursy, yaitu suatu kondisi yang sengaja diciptakan untuk menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa di antara kedua calon suami istri tadi telah resmi menjadi suami istri.
Dari ketiga indikator tersebut, suatu perkawinan dapat diklasifikasi   sebagai kawin atau nikah sirri apabila  unsur kedua dan ketiga tidak   terpenuhi, yaitu perkawinan tidak dipublikasikan kepada masyarakat dan tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah.
Kawin atau nikah sirri tidak selalu merupakan perkawinan yang tidak sah, baik dari aspek hukum Islam maupun hukum positif. Jika dikatakan bahwa  perkawinan yang sah adalah perkawinan  yang  telah  memenuhi  syarat  dan  rukun  perkawinan  sebagaimana  diatur  dalam hukum Islam maupun hukum positif. Hal itu karena Pasal 2 (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa keabsahan suatu perkawinan apabila dilakukan sesuai dengan ajaran agama orang yang melakukan perkawinan itu. Oleh karena itu, perkawinan yang dilakukan apabila telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan menurut hukum Islam maupun hukum positif adalah sah menurut hukum Islam dan hukum positif. Tapi karena perkawinan itu tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah sehingga dikatakan sebagai nikah atau kawin sirri.
Nikah sirri kategori pertama yang dikatakan oleh Wildan Suyuti Mustofa di atas, yaitu perkawinan yang tidak dihadiri oleh wali nikah, sulit untuk dilegalkan dan tidak mempunyai landasan hukum.
Di masyarakat seringkali terjadi kawin sirri dilakukan di hadapan kiyai, guru atau modin. Pada saat perkawinan dilangsungkan yang menjadi wali nikah adalah kiyai, guru atau modin, sementara orangtua/wali nikah dari perempuan tidak memberikan delegasi untuk menikahkan anak perempuannya. Perkawinan semacam ini jelas tidak sah karena tidak memenuhi syarat dan rukun nikah, yaitu tidak ada wali nikah.
Mengenai masalah pencatatan perkawinan sebagaimana dikehendaki oleh Pasal 2 (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidaklah menentukan keabsahan suatu perkawinan yang telah dilaksanakan menurut ketentuan hukum Islam karena pencatatan perkawinan hanya menyangkut masalah administratif. Namun demikian, suatu perkawinan yang tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatatan Nikah, suami istri tersebut tidak akan memiliki buku nikah sebagai bukti otentik terjadinya perkawinan sehingga perkawinannya secara yuridis tidak diakui pemerintah, tidak mempunyai kepastian hukum dan perlindungan hukum dari Negara.

Itsbat Nikah

Untuk memberikan legitimasi nikah  sirri atau perkawinan yang tidak dicatatkan kadang ditempuh dengan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama. Itsbat nikah yang sering disebut  dengan  pengesahan nikah  adalah kewenangan Pengadilan Agama yang  merupakan perkara voluntair. Perkara voluntair adalah perkara permohonan yang hanya terdiri dari pemohon saja. Oleh karena itu, perkara voluntair tidak disebut sebagai perkara karena tidak ada pihak lawan atau tidak obyek hukum yang disengketakan.
Dalam Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama yang telah dirubah  dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan terakhir dengan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009, kompetensi absolute Pengadilan Agama di antaranya adalah Itsbat Nikah, yaitu pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.

Landasan yuridis dari itsbat nikah  terdapat di dalam Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006. Dari ketentuan tersebut, dapat  dirumuskan bahwa kompetensi absolute Pengadilan Agama tentang itsbat nikah adalah perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, bukan perkawinan yang terjadi sesudahnya.
Dalam praktik, permohonan itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama sekarang ini pada umumnya  sekitar 95%  adalah  perkawinan  yang  dilangsungkan pasca  berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Yang menjadi pertanyaan, dapatkah Pengadilan Agama mengitsbatkan perkawinan yang dilangsungkan setelah berlakunya Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?
Dalam Pasal 49  huruf (a) angka 22 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dapat dipahami bahwa perkawinan (termasuk nikah yang tidak dicatatkan/nikah sirri) yang diajukan ke Pengadilan Agama untuk diitsbatkan hanyalah perkawinan yang dilakukan sebelum diundangkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Oleh karenanya ketentuan tersebut, tidak memberi sinyal kebolehan Pengadilan Agama untuk mengitsbatkan perkawinan yang dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, meskipun perkawinan itu telah dilakukan menurut ketentuan hukum Islam (terpenuhi syarat dan dan rukunnya) tapi tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah, maka perkawinan itu tidak boleh diitsbatkan oleh Pengadilan Agama.
Pengabulan permohonan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama terhadap perkawinan yang dilangsungkan setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 didasarkan pada Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam Pasal 7 Ayat (2) dan Ayat (3) Kompilasi Hukum Islam disebutkan :
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
a.     Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perkawinan;
b.     Hilangnya akta nikah;
c.     Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
d.     Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 tahun 1974.
e.     Perkawinan  yang  dilakukan  oleh  mereka  yang  tidak  mempunyai  halangan  perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Dalam praktik beracara di Pengadilan Agama, hakim pada umumnya langsung menerapkan Pasal 7 Ayat (2) dan (3) Kompilasi Hukum Islam (KHI) tanpa menguji kekuatan keberlakukan KHI di hadapan undang-undang. Dengan demikian, meskipun ketentuan Pasal 7 Ayat  (3) huruf a di atas sulit dipahami, tetapi mayoritas hakim Pengadilan Agama dengan penafsiran yang kabur memahami ketentuan Ayat (3) huruf a tersebut, seolah-olah merupakan keharusan untuk menerima permohonan itsbat nikah jika diajukan dengan dikumulasi gugatan perceraian,  walaupun  perkawinan  itu dilakukan setelah berlakunnya Undang-Undang No. 1 Tahun  1974.  Demikian juga ketika hakim memahami ketentuan Pasal 7 Ayat (3) huruf e Kompilasi Hukum Islam.
Kedudukan Kompilasi Hukum Islam jika ditinjau dari hierarki peraturan perundang- undangan seperti yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Tata Urutan Perundang-undangan, Kompilasi  Hukum Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991) tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan, dan kedudukannya jauh di bawah undang-undang. Ketentuan Inpres tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.  Apabila Inpres (KHI) bertentangan dengan undang-undang atau ketentuan hukum yang lebih tinggi, maka Inpres tidak dapat dijalankan. Hal ini sesuai dengan asas “Lex Superior Dragot lex Inferior” (ketentuan hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum di bawahnya).
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian pendahuluan di atas, bahwa Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan organiknya Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, berlaku secara efektif sejak 1 Oktober 1975, maka sejak tanggal tersebut semua perkawinan harus mengikuti ketentuan yang diatur dalam undang-undang perkawinan tersebut. Perkawinan yang dilakukan setelah tanggal tersebut, tetapi tidak mengikuti ketentuan undang-undang tersebut, maka perkawinan itu tidak mendapatkan kepastian hukum dan diakui oleh  pemerintah.
Secara yuridis, jika perkawinan tersebut diajukan permohonan itsbat  nikah ke Pengadilan Agama, hakim yang memeriksa permohonan tersebut harus menyatakan tidak berwenang mengadili. Jika permohonan tersebut dikabulkan oleh hakim, berarti pengadilan agama telah meligitimasi dan mengakui perkawinan yang melawan hukum dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Terhadap perkawinan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, jika diajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama, hakim yang memeriksa permohonan   tersebut, harus cermat meneliti apakah perkawinan yang dimohonkan untuk di-itsbat-kan itu dilaksanakan telah terpenuhi syarat dan rukun nikah sebagaimana yang ditentukan dalam hukum Islam atau tidak. Jika dalam pemeriksaan di persidangan tidak terbukti bahwa perkawinan itu dilakukan telah sesuai dengan ketentuan hukum Islam, hakim wajib menolak permohonan itsbat nikah itu, walaupun diajukan dalam rangka menyelesaikan perceraian. Sebab bagaimana mungkin hakim menyatakan sahnya suatu perkawinan yang tidak memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Oleh karena itu, seharusnya ketentuan Pasal 7 Ayat (3) huruf (e) KHI tersebut memberi kriteria yang jelas dan tegas, bahwa perkawinan yang dapat dimohonkan itsbat-nya ke Pengadilan Agama adalah perkawinan yang dilangsungkan sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, dan perkawinan yang memenuhi syarat dan rukun perkawinan sesuai dengan ketentuan hukum Islam.
Perkawinan yang dilakukan setelah Undang-undang No.1 Tahun 1974 diundangkan yang tidak dicatatkan pada Pegawai pencatat Nikah, dapatkah  di-itsbat-kan oleh Pengadilan Agama?
Jawabnya: tidak dengan argumentasi: Secara yuridis ketentuan Pasal 49  huruf (a) angka 22 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, hanya memberi izin kepada Pengadilan Agama untuk meng-itsbat-kan perkawinan yang dilakukan sebelum Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 diundangkan. Bagi mereka yang melangsungkan perkawinan tapi perkawinan mereka tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah, hal itu menjadi indikator bahwa mereka tidak patuh dan tidak taat hukum untuk mencatatkan perkawinannya. Terhadap perkawinan yang demikian, hukum tidak melindungi dan tidak diakui oleh pemerintah. Oleh karena itu, apabila mereka mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama, maka hakim harus menolaknya karena tidak ada landasan yang logis  secara hukum untuk mengabulkannya.
Pengadilan Agama yang mengabulkan permohonan itsbat nikah pasca berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, berarti melegitimasi dan mengakui perkawinan yang melanggar hukum. Di samping itu, secara sosiologis itsbat nikah terhadap perkawinan yang dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, akan menumbuhsuburkan praktik nikah sirri di masyarakat karena pada akhirnya perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) itu dapat di-itsbat-kan oleh Pengadilan Agama.

Kesimpulan

Dari paparan tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan :
1.    Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 49 Ayat (2) hurup a angka 22 dan penjelasannya, hanya mengizinkan kepada Pengadilan Agama untuk mengitsbatkan perkawinan yang dilangsungkan sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan memenuhi syarat dan rukun perkawinan yang ditentukan dalam Hukum Islam.
2.    Ketentuan Pasal 7 Ayat (2) dan Ayat (3) Kompilasi Hukum Islam yang dijadikan landasan hukum oleh hakim dalam melakukan Itsbat Nikah   terhadap perkawinan yang dilangsungkan setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 sangatlah lemah karena KHI tidak termasuk  dalam  hierarki  peraturan  perundang-undangan  sebagaimana  diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Tata Urutan Perundang-undangan.
3.    Nikah sirri setelah berlakunya Undang-Undang No.1 Tahun 1974, sebagai sebagai indikator ketidakpatuhan  dan ketidaktaatan terhadap ketentuan Pasal 2 Ayat (2) undang-Undang 1974, mengitsbatkannya akan menumbuhsuburkan praktik nikah sirri di masyarakat.
4.    Bila itsbat nikah dinilai sebagai salah satu bentuk pelayanan kepada para pencari keadilan, maka diperlukan payung hukum yang kuat bagi Pengadilan Agama untuk melakukannya dengan mengamandemen ketentuan Pasal 49  Ayat (2) huruf a angkat 22 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 yang telah dirubah dengan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

DAFTAR PUSTAKA :
Abdul Hayyi, Muhammad, al-Ahwal al-Syakhsyiyyah, Al-Azhar, Makatabah Nashir.
Abu Zahrah, Muhammad, Al-Ahwal al-Syakhsyiyyah, Dar-Alfikr.
Halim, Abd., Studi Hukum Perkawinan Islam Kontemporer,  Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2008.
Shomad, Abd., Hukum Islam : Penerapan Prinsip Syari’ah dan Hukum Islam,   Kencana Prenada Media, Jakarta, 2010.
Anshary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia (Masalah-masalah Krusial), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.
Hasan, M. Ali, Masail Fiqhiyah al-Haditsah, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 1995.
Zien, Satria Egendi M., Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Prenada Media, Jakarta, 2004.
Kompilasi Hukum Islam.
Mimbar Hukum No. 23 Tahun 1996 dan No.. 28 Tahun 1996.
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
UU No. 3 Tahun 2006
UU No. 50 Tahun 2009


Penulis: Drs. H. Abd. Rasyid As’ad, MH. (Hakim Pengadilan Agama Mojokerto)

Sabtu, 26 Januari 2013

Status Anak di Luar Nikah (Analisis Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010)


Mahkamah  Konstitusi adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung.
Pasal 24 ayat 2 UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 (UUD NRI TH 1945) menyatakan, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (MK).
Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945.
Berdasarkan pasal 24C ayat 1 UUD NRI TH 1945 yang ditegaskan kembali dalam pasal 10 ayat 1 huruf a sampai dengan d UU 24/2003, Kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut :
a.       Menguji undang-undang terhadap UUD NRI Th.1945;
b.      Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Th.1945;
c.       Memutus pembubaran partai politik;
d.      Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI  REPUBLIK INDONESIA  NOMOR 46/PUU-VIII/2010 Tanggal 13 Februari 2012.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materiil UU Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974) yang diajukan Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim yang meminta puteranya Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono agar diakui sebagai anak almarhum Moerdiono mantan Menteri Sekretaris Negara di era Soeharto memicu perseteruan antara dirinya dengan keluarga almarhum Moerdiono.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Berdasarkan Pasal  51 ayat 1 UU 24/2003 untuk mengajukan perkara konstitusi si pemohon harus memiliki kedudukan hukum (legal standing), sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu :
a.       Perorangan warga Negara Indonesia;
b.      Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c.       Badan hukum public atau privat; atau 
d.      Lembaga Negara
Dengan demikian, para pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD NRI Th.1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu :
1.      Kedudukannya sebagai para pemohon sebagaimana dimaksud pasal 51 ayat 1 UU 24/2003
2.      Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.

Pemohon mengajukan uji materiil terhadap :

UUD NRI Th. 1945
UU No 1 Th 1974 tentang Perkawinan
Pasal 28 B ayat 1
“ Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah “
Pasal 2 ayat 2
“ Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku “
Pasal 28 B ayat 2
“ Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi “
Pasal 43 ayat 1
“ Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya “
Pasal 28 D ayat 1
“ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum “


Mahkamah Konstitusi memberikan keputusan mengabulkan sebagian permohonan para pemohon.  Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan tidak dikabulkan sebab perkawinan yang dicatatkan adalah untuk mencapai tertib administrasi.
Pencatatan secara administratif yang dilakukan Negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh Negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan dapat terselenggara secara tertib dan efisien. Artinya dengan dimilikinya bukti otentik akta perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam pasal 55 UU perkawinan yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila dibandingkan adanya akta otentik sebagai bukti.
Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan dikabulkan karena hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak.
Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur / administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapat perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya.
Komisi perlindungan anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan hampir 50 juta anak di Indonesia tidak memiliki akta kelahiran karena berbagai sebab antara lain karena pernikahan tidak sah atau tercatat di atau kawin siri, angka ini hampir separuh dari total jumlah anak dibawah 5 tahun yang ada di Indonesia. KPAI sangat mengapresiasi putusan MK beberapa waktu lalu yang mengabulkan permohonan uji materiil atas pasal anak diluar pernikahan sah dalam UU perkawinan.
Menurut Ketua Komnas Perlindungan Anak Aris Merdeka Sirait, perubahan pada Undang-undang Perkawinan oleh Mahkamah Konstitusi ini akan menjadi landasan hukum yang sah dalam memajukan upaya advokasi bagi anak-anak diluar pernikahan yang sah untuk memperoleh hak keperdataannya.
“Jadi putusan MK kemarin memberikan hak keperdataan yang selama ini tidak diakui negara. Makanya akta lahirnya itu tidak mencantumkan nama ayah. Dan tentu ini akan berimplikasi tidak mendapatkan “hak waris” dan tidak bisa mencantumkan siapa bapaknya, nah..itukan merugikan anaknya. Didalam konvensi PBB juga pengakuan keperdataan dalam bentuk identitas nama dan kewarganegaraan itu harus diberikan oleh negara, tidak harus bergantung pada sah tidaknya perkawinan. Tetapi juga sebagai hak konstitusi, hak keperdataan, itu adalah hak yang sangat mendasar dan konstitusional”.
Ketua Majelis Ulama Indonesia Umar Shihab juga menyambut baik putusan MK ini, menurut Umar, putusan ini bisa menjadi dasar hukum bagi hakim dalam memutuskan sengketa anak. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan.
Berdasarkan uraian ini Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan ini harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. “Bagaimana tindakan notaris apabila ada anak luar kawin/kuasa/walinya tersebut minta dibuatkan akta keterangan waris sementara ada penyangkalan dari ahli waris yang sah?
Dari sisi praktisi notaris yang berwenang untuk membuat suatu keterangan waris, hal ini agak merepotkan, karena untuk membuat suatu keterangan waris diharuskan untuk menerima bukti-bukti otentik berupa akta kelahiran yang menyatakan bahwa anak tersebut merupakan anak sah dari hasil perkawinan kedua orangtuanya. Ada kekhawatiran didalam praktik dimasyarakat, tiba-tiba akan bermunculan berbagai kasus sehubungan dengan adanya tuntutan dari anak-anak luar kawin yang tidak/belum pernah diakui oleh pewaris, yang menuntut bagian dari warisan tersebut.
Berdasarkan KUH Perdata dan UU Perkawinan
Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010
Surat Keterangan Hak Waris biasanya dibuat oleh Notaris yang berisikan keterangan mengenai pewaris, para ahli waris dan bagian-bagian yang menjadi hak para ahli waris berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Anak Luar Kawin dalam BW dan KUH Perdata bisa mendapat bagian waris melalui proses pengakuan yang ditetapkan oleh pengadilan. Walaupun dengan adanya perbuatan hukum pengakuan ini sang anak maksimal mendapat 1/3 bagian waris.
Ketika pewaris meninggal, timbulah warisan dan ahli waris. Keberadaan anak luar kawin yang sudah ditetapkan pengadilan tetap akan mendapatkan bagian waris. Apabila ahli waris lain menolak, nama sang ahli waris ( anak luar kawin yang mendapatkan pengakuan ) sudah tercatat dan harus dimasukkan dalam surat keterangan waris.
Notaris akan mengecek terlebih dahulu berapa jumlah ahli waris yang tercatat oleh Negara. Dengan demikian jika ahli waris di luar anak luar kawin yang mendapat pengakuan menyangkal, surat keterangan waris tidak dapat dibuat.
Anak luar kawin berdasarkan putusan MK ini dapat membuktikan dengan ilmu pengetahuan jika anak memiliki hubungan darah dengan ayahnya.
Jika ia terbukti berdasarkan ilmu pengetahuan merupakan anak pewaris maka anak tersebut mempunyai hak waris yang sama besarnya dengan ahli waris lainnya.
Peraturan pelaksana putusan MK ini belum ada sehingga masih terdapat kekosongan hukum bagaimana anak luar kawin mendapat jaminan ia akan mendapatkan warisannya.
Kemajuan yang dibuat putusan MK ini setelah dilakukannya pembuktian melalui ilmu pengetahuan ahli waris lain tidak dapat menyangkal keberadaan anak luar kawin ini. Karena secara ilmu pengetahuan anak luar kawin ini adalah anak dari pewaris.
Surat keterangan waris dapat dibuat namun dapat terjadi permasalahan dalam administrasi pengurusan surat keterangan waris.

PEMBAHASAN
A.      Anak Luar Kawin Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Anak luar kawin yang diakui secara sah adalah salah satu ahli waris menurut undang-undang yang diatur dalam KUHPerdata berdasarkan Pasal 280 jo Pasal 863 KUHPerdata. Anak luar kawin yang berhak mewaris tersebut merupakan anak luar kawin dalam arti Sempit, mengingat doktrin mengelompokkan anak tidak sah dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu anak luar kawin, anak zina, dan anak sumbang, sesuai dengan penyebutan yang diberikan oleh pembuat undang-undang dalam Pasal 272 jo 283 KUHPerdata (tentang anak zina dan sumbang). Anak luar kawin yang berhak mewaris adalah sesuai dengan pengaturannya dalam Pasal 280 KUHPerdata.
Pembagian seperti tersebut dilakukan, karena undang-undang sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada, memang memberikan akibat hukum lain-lain (sendiri-sendiri) atas status anak-anak seperti tersebut di atas. Sekalipun anak zina dan anak sumbang sebenarnya juga merupakan anak luar kawin dalam arti bukan anak sah, tetapi kalau dibandingkan dengan Pasal 280 dengan Pasal 283 KUH Perdata, dapat diketahui anak luar kawin menurut Pasal 280 dengan anak zina dan anak sumbang yang dimaksud dalam Pasal 283 adalah berbeda.
Demikian pula berdasarkan ketentuan Pasal 283, dihubungkan dengan Pasal 273 KUHPerdata, bahwa anak zina berbeda dengan anak sumbang dalam akibat hukumnya. Terhadap anak sumbang, undang-undang dalarn keadaan tertentu memberikan perkecualian, dalam arti, kepada mereka yang dengan dispensasi diberikan kesempatan untuk saling menikahi (Pasal 30 ayat (2) KUHPerdata) dapat mengakui dan mengesahkan anak sumbang mereka menjadi anak sah (Pasal 273 KUHPerdata). Perkecualian seperti ini tidak  diberikan untuk anak zina.
Perbedaan antara anak luar kawin dan anak zina terletak pada saat pembuahan atau hubungan badan yang menimbulkan kehamilan, yaitu apakah pada saat itu salah satu atau kedua-duanya (maksudnya laki-laki dan perempuan yang mengadakan hubungan badan di luar nikah) ada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain atau tidak, sedangkan mengenai kapan anak itu lahir tidak relevan. Anak zina adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan luar nikah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di mana salah satu atau kedua-duanya, terikat perkawinan dengan orang lain. Adapun anak sumbang adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang antara keduanya berdasarkan ketentuan undang-undang ada larangan untuk saling menikahi (Pasal 31 KUHPerdata).
Dengan demikian anak luar kawin dalam arti sempit adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang kedua-duanya tidak terikat perkawinan dengan orang lain dan tidak ada larangan untuk saling menikahi, anak-anak yang demikianlah yang bisa diakui secara sah oleh ayahnya (Pasal 280 KUHPerdata).
Hubungan antara ibu dan anak terjadi dengan sendirinya karena kelahiran, kecuali apabila anak itu "overspelig atau bloedsrhenning (anak zinah). Antara ayah dan anak hanya terjadi hubungan perdata karena pengakuan (Pasal 280 KUHPerdata).
Pasal 280 KUHPerdata, yang mengatakan; bahwa dengan pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara anak dan bapak atau ibunya. Hal ini berarti, bahwa antara anak luar kawin dan "ayah" (biologisnya) maupun "ibunya" pada asasnya tidak ada hubungan hukum. hubungan hukum itu baru ada kalau "ayah" dan atau "ibunya"memberikan pengakuan, bahwa anak itu adalah anaknya. Dengan demikian, tanpa pengakuan dari ayah dan atau ibunya, pada asasnya anak itu bukan anak siapa-siapa. Ia tidak mempunyai hubungan hukum dengan siapa pun.
Kalau kita melihat prinsip seperti tersebut di atas, kita bisa menyimpulkan, bahwa hubungan hukum antara orang-tua dan anaknya yang sah didasarkan atas adanya hubungan darah antara keduanya. akan tetapi, kalau kita hubungkan dengan anak luar kawin, hubungan hukum antara anak luar kawin dan ayah yang mengakuinya, didasarkan atas hubungan darah melalui suatu pengakuan dengan demikian, hubungan darah dalam hal ini adalah hubungan darah dalam arti yuridis, bukan dalam arti biologis. Kedudukan anak luar kawin di dalam hukum secara realitas adalah lebih rendah dibanding dengan anak sah, dengan pengertian bagian waris yang diterima oleh anak luar kawin lebih kecil dibandingkan dengan anak sah. Selain hal tersebut anak sah berada di bawah kekuasaan orang tua sebagaimana diatur dalam Pasal 299 KUHPerdata, sedangkan anak luar kawin yang telah diakui secara sah berada di bawah perwalian sebagaimana diatur dalam Pasal 306 KUHPerdata.
Untuk dapat menjadi seorang ahli waris KUHPerdata telah menetapkan syarat-syarat sebagai berikut :
a.         Berdasarkan Pasal 832 KUHPerdata untuk dapat menjadi ahli waris harus memiliki hubungan darah baik sah atau luar kawin. Dimungkinkan menjadi ahli waris melalui  pemberian melalui surat wasiat sebagaimana diatur dalam Pasal 874 KUHPerdata.
b.         Berdasarkan Pasal 836 KUHPerdata Ahli waris, harus sudah ada pada saat pewaris meninggal dunia. Namun, ketentuan ini disimpangi oleh Pasal 2 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak menghendakinya.

Ketentuan Pasal 832 KUHPerdata memperjelas kedudukan masing-masing ahli waris harus didasari oleh suatu hubungan darah baik sah maupun luar kawin. Dalam hal ini, perlu diidentifikasi lebih lanjut tentang kedudukan anak-anak pewaris sebagai ahli waris. Mengingat dalam suatu pewarisan menurut KUHPerdata dikenal anak luar kawin baik yang diakui secara sah maupun tidak. KUHPerdata tidak menjelaskan lebih lanjut pengertian yang jelas tentang anak luar kawin. KUHPerdata hanya memberikan penjelasan tentang pengertian anak sah sebagaimana diatur dalam Pasal 250 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa anak sah adalah setiap anak yang dilahirkan dan atau dibuahkan dari suatu perkawinan yang sah. Berdasarkan batasan yang diberikan oleh Pasal 250 KUHPerdata dapat ditarik kesimpulan bahwa yang disebut dengan anak luar kawin adalah setiap anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah.
UU No. 1 Tahun 1974 mengatur kedudukan anak luar kawin dalam Pasal 43, yaitu:
a.         Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya;
b.         Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 4 menyebutkanPerkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.”
Namun perkawinan tersebut harus dilaporkan dan dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA) atau di Catatan Sipil bagi yang bukan beragama Islam, karena Pencatatan perkawinan seperti yang diamanatkan Pasal 2 ayat (2) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertujuan untuk melindungi warga negara dalam membangun keluarga dan memberikan kepastian hukum terhadap hak suami, istri, dan anak-anaknya.
UU No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 2 menyebutkan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Begitu pula di dalam Pasal 5 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan:
a.         Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
b.         Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
 Walaupun pernikahan siri dianggap sah secara agama Islam, yaitu adanya ijab dan Kabul, wali nikah, 2 orang saksi dan pengantin sudah cukup umur; namun perkawinan tersebut juga harus sah secara hukum Negara. Tanpa adanya pencatatan secara hukum Negara, maka anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut tidak dapat dibuktikan secara hukum merupakan anak sah dari ayahnya. Akibatnya, si anak hanya memiliki hubungan hukum dengan ibu yang melahirkannya.
Dari semua rukun nikah tidak ada seorang ulama (empat mazhab) yang mengemukakan sebuah pernikahan harus dicatat. Sebab, tak ada ditemukan dalil dalam Al-Qur’an dan Hadits Sahih yang secara eksplisit mewajibkan adanya pencatatan nikah. Jadi jika pernikahannya sah sekalipun tidak tercatat, anaknya  tetap dianggap anak sah.
Sebuah Hadits Sahih yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra, Rasulullah bersabda, “Anak hanya bernasab kepada pemilik tempat tidur suami, sedangkan pezina hanya akan memperoleh sial atau batu hukuman.”  Dari hadits itu, dapat dijelaskan anak juga bernasab (hubungan hukum) dengan lelaki yang memiliki tempat tidur yang sah. Sebab, ia adalah suami sah dari ibu kandungnya. Sementara, perzinaan tidak pernah mengakibatkan adanya hubungan nasab anak terhadap bapaknya karena pezina hanya layak diberi hukuman. Jika pernikahan sah, anak yang dilahirkan bernasab pada ibu dan bapaknya, kecuali karena perzinahan anak hanya bernasab dengan ibunya.
Pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan definisi bagi anak yang sah yaitu anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Sedangkan Pasal 250 KUHPerdata menentukan bahwa tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya. Berdasarkan kedua ketentuan di atas, keabsahan suatu perkawinan sangat menentukan kedudukan hukum dari anak-anak, anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya. Berdasarkan kedua ketentuan di atas, keabsahan suatu perkawinan sangat menentukan kedudukan hukum dari anak-anak.

B.       Kedudukan Anak Luar Kawin
Berdasarkan Pasal 280 KUHPerdata, seorang anak luar kawin akan memiliki hubungan keperdataan dengan orang tuanya apabila telah diakui secara sah. Dengan demikian, apabila seorang anak luar kawin tidak diakui oleh orang tuanya, maka ia tidak akan memiliki hubungan keperdataan baik dengan bapak maupun ibu biologisnya.
Namun, menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kedudukan anak luar kawin demi hukum memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hanya saja, dalam ayat (2) disebutkan bahwa kedudukan anak luar kawin tersebut akan diatur lebih lanjut dalam suatu peraturan pemerintah yang sampai sekarang belum diundangkan oleh pemerintah.
Dengan demikian, berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka berlakulah ketentuan yang lama dalam hal ini KUHPerdata.
Sehingga kedudukan anak luar kawin secara hukum setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tetap diperlukan suatu pengakuan untuk menciptakan hubungan keperdataan antara seorang anak luar kawin dengan orang tuanya. Pengakuan terhadap anak luar kawin, dapat dilakukan dengan :
1.         Pengakuan sukarela
Pengakuan sukarela yaitu : suatu pengakuan yang dilakukan oleh seseorang dengan cara yang ditentukan undang-undang, bahwa ia adalah bapaknya (ibunya) seorang anak yang telah dilahirkan di luar perkawinan). Dengan adanya pengakuan, maka timbulah hubungan Perdata antara si anak dan si bapak (ibu) yang telah mengakuinya sebagaimana diatur dalam Pasal 280 KUHPerdata.
Pengakuan sukarela dapat dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan dalam Pasal 281 KUHPerdata, yaitu :
a)        Dalam akta kelahiran si anak Menurut Pasal 281 ayat (1) KUHPerdata, untuk dapat mengakui seorang anak luar kawin bapak atau ibunya dan atau kuasanya berdasarkan kuasa otentik harus menghadap di hadapan pegawai catatan sipil untuk melakukan pengakuan terhadap anak luar kawin tersebut.
b)        Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat pula dilakukan pada saat perkawinan orang tuanya berlangsung yang dimuat dalam akta perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (2). Jo Pasal 272 KUHPerdata. Pengakuan ini akan berakibat si anak luar kawin akan menjadi seorang anak sah.
c)        Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat dilakukan dalam akta oteintik seperti akta notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (1) KUHPerdata.
d)       Dengan akta yang dibuat oleh pegawai catatan sipil, yang dibutuhkan dalam register kelahiran catatan sipil menurut hari Penanggalannya sebagaimana diatur dal am Pasal 281 ayat (2) KUHPerdata.

2.         Pengakuan Paksaan
 Pengakuan anak luar kawin dapat pula terjadi secara paksaan, yakni dapat dilakukan oleh si anak yang lahir di luar perkawinan itu, dengan cara mengajukan gugatan terhadap bapak atau ibunya kepada Pengadilan Negeri, agar supaya anak luar kawin dalam arti sempit itu diakui sebagai anak bapak atau ibunya, ketentuan ini diatur dalam Pasal 287-289 KUHPerdata.
Anak luar kawin yang dapat diakui adalah anak luar kawin dalam arti sempit, yaitu anak yang terlahir dari ibu dan bapak yang tidak terikat perkawinan yang sah baik di antara mereka maupun dengan orang lain (tidak tergolong anak zina atau anak sumbang).
Menurut KUHPerdata ahli waris yang berhak mewaris dapat dibagi menjadi 4 (empat) golongan, yaitu :
a).      Golongan I : Anak, atau keturunannya dan janda/duda, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 852, 852a, 852b, dan 515 KUHPerdata.
b).      Golongan II : Orang tua (bapak/ibu), saudara-saudara atau keturunannya, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam pasal 854, 855, 856, dan 857 KUHPerdata.
c).      Golongan III : Kakek dan nenek, atau leluhur dalam garis lurus terus ke atas, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 853, 858 ayat (1) KUHPerdata.
d).     Golongan IV : Sanak keluarga di dalam garis menyamping sampai tingkat ke-6 yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 858 ayat (2), 861, 832 ayat (2), 862, 863, 864, 856 dan 866 KUHPerdata.

C.       Peran Notaris dalam Pembuatan Akta Warisan untuk Anak Luar Kawin

Perjanjian-perjanjian yang dapat digunakan dan dibuat untuk menyelesaikan sengketa waris apabila terdapat anak luar kawin adalah dengan membuat:
1.         Akta Pembatalan, merupakan akta yang memuat kesepakatan para ahli waris untuk membatalkan Akta Pembagian Waris yang telah pernah dibuat sebelumnya dan untuk kemudian dibuat Akta Pembagian Waris yang baru, dalam akta ini anak luar kawin yang dahulu belum masuk sebagai ahli waris, dicantumkan sebagai ahli waris dengan bagian sesuai yang telah ditentukan oleh undang-undang;
2.         Akta Perdamaian, akta ini merupakan kesepakatan ahli waris untuk menyelesaikan sengketa waris dengan cara bermufakatan, dan membagi waris menurut undang-undang.
3.         Akta Perjanjian Pelepasan Hak Tuntutan, pembuatan akta ini merupakan solusi dari sengketa hak waris dalam pewarisan yang di dalamnya terdapat anak luar kawin yang dahulu pada saat pembuatan Akta Pembagian Waris tidak masuk sebagai ahli waris dan tidak memperoleh haknya. Akta Perjanjian Pelepasan Hak Tuntutan, dibuat tanpa membatalkan Akta Pembagian Waris yang telah dibuat, melainkan dalam akta ini anak luar kawin tersebut membuat pernyataan bahwa ia telah melepaskan segala haknya atas harta warisan dan tidak akan menuntut ahli waris lainnya atas harta warisan. Dalam akta ini juga diperjanjikan untuk itu si anak luar kawin mendapatkan kompensasi dari ahli waris yang lain sesuai dengan kesepakatan di antara para ahli waris.
PENUTUP
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, maka diakuinya anak luar kawin (hasil biologis) sebagai anak yang sah berarti akan mempunyai hubungan waris dengan bapak biologisnya tanpa harus didahului dengan pengakuan dan pengesahan, dengan syarat dapat dibuktikan adanya hubungan biologis antara anak dan bapak biologis berdasarkan ilmu pengetahuan, misalnya melalui hasil tes DNA. Namun demikian, apabila ada penyangkalan mengenai anak luar kawin ini dari anak-anak ahli waris yang sah, maka menurut saya dalam hal ini tetap perlu dimohonkan Penetapan Pengadilan mengenai status anak luar kawin tersebut sebagai ahli waris yang sah.
Mengharapkan pemerintah dengan putusan MK tersebut membuat sinkronisasi hukum dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya  sehingga tidak menimbulkan pendapat/ opini yang tumpang tindih yang menimbulkan banyak masalah baru dan diharapkan penegakkan hukum serta rasa keadilan dimasyarakat dapat terwujud.

Penulis: Syafran Sofyan, SH,SpN,MHum  (Tenaga Profesional Bidang Hukum dan HAM Lemhannas RI)


 
Design by Muhammad Zainudin | Penghulu KUA Kec. Mranggen